Minggu, 26 April 2020

Belajar Menjadi Wanita dari Seorang Ibu Malikah



Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu

Wah, tidak terasa ya teman-teman postingan terakhir blog ini sudah hampir setahun yang lalu. Rasanya malu sekali. Jarang bersih-bersih dan menghias rumah ini. Insya Allah nanti akan ada renovasi besar-besaran. Geli juga rasanya melihat cover blog yang usianya sudah delapan tahun lebih itu hehe.

Baiklah pada kesempatan kali ini, kesempatan perdana di tahun 2020 izinkan saya untuk mempublikasikan sebuah resensi buku. FYI ini juga masih resensi ke-tiga yang pernah saya publikasikan di blog ini. Kalau ada yang masih ingat, resensi terakhir sebelum ini adalah buku yang ditulis oleh kakak kelas di pondok yang berjudul “Kado Dari Kairo”. Nah, kali ini saya ingin meresensi sebuah buku yang ditulis oleh kakak tingkat saya di UGM. Entah kenapa kakak-kakak ini sangat produktif, sedangkan saya masih bertanya pada diri sendiri. Kapan buku saya diresensi orang? Nantikan aja pokoknya, haha.

Yuk, langsung aja kita masuk ke resensinya ya...



Belajar Menjadi Wanita dari Seorang Ibu Malikah



Judul Buku                   : Malikah, Keteguhan Jiwa Sang Ibu Nyai Janda

Penulis                         : Mohammad Nizar

Editor                           : 4 Bidadari

Cetakan Pertama          : Maret 2019

Penerbit                       : Al Rosyid Publishing, Media and Creative. Bojonegoro

Jumlah Halaman           : 182 halaman

Novel ini bercerita tentang lika-liku kehidupan seorang wanita. Ia lahir sebagai anak bungsu dari sebuah keluarga yang terhormat. Beliau bernama Ibu Malikah, figur seorang Ibu Nyai yang merupakan influencer bagi para santrinya. Novel ini diangkat dari kisah nyata, namun saya kurang tahu apakah tokoh-tokoh di dalam novel ini menggunakan nama asli atau tidak. Selayaknya wanita yang hidup pada awal abad ke-20, beliau sangat menjunjung tinggi sopan santun tidak pernah menolak perintah orang tua selama itu baik baginya. Menjadi wanita yang seutuhnya, menjaga kehormatannya sebagai wanita hingga tiba waktnya dijodohkan oleh ibunya.

Sayang, sedih sekali dan saya juga terheran-heran bacanya. Secepat mempelai laki-laki mengucap ijab qabul, secepat itu pula surat perceraian dilayangkan. Resmi sudah Ibu Malikah yang masih berusia 18 ketika itu sudah harus menjadi janda. Tak lama setelah beliau menjanda kesedihannya bertambah dengan meninggalnya ibu tercinta. Lalu sang ayah menikah lagi. Ibu Malikah tetap menghormati ibu tirinya. Dan ibu tirinya inilah yang menikahkan beliau lagi.

Ibu Malikah dinikahkan oleh seorang duda juga yang bernama Mas Masyhur. Karena masih muda panggilannya pun juga harus muda yaitu dengan sebutan “Mas”. Mas Masyhur dikisahkan sebagai seseorang yang selalu disibukkan dengan kegiatan yang berlatar belakang kepentingan umat. Seperti pembangunan masjid untuk masyarakat dan juga mengajar ngaji. Oleh karena itu harta beliau berdua selain digunakan untuk nafkah keluarga juga disisihkan untuk pembangunan masjid.

Seiring bertambahnya keturunan, panggilan pun berubah menjadi “Pak” atau lengkapnya “Bapak”. Tanpa disangka-sangka suatu ketika, murid-murid mengaji Pak Masyhur datang ke rumah beliau dan minta agar bisa tinggal bersama keluarga Pak Masyhur. Ya rata-rata memang beginilah cikal bakal berdirinya sebuah pesantren. Sama persis dengan yang pernah saya pelajari dalam pelajaran kepondokmodernan beberapa tahun silam. Awal mula Pak Masyhur masih menolak dengan penuh pertimbangan. Namun karena murid-murid terus meminta maka Pak Masyhur akhirnya meng-iyakan.

Pesantren terbentuk, murid-murid bertambah banyak perjuanganpun harus lebih keras. Sampai suatu ketika untuk membantu pesantren Ibu Malikah merelakan semua perhiasannya. Mungkin bagi wanita ini adalah hal yang cukup berat yang harus dilakukan. Tapi Ibu Malikah tetap ikhlas, dalam hidupnya kini yang terpenting anak-anak tetap bisa tinggal di pesantren dan tetap mengaji.

“Pak, kalau misal semua perhiasan yang kupunya juga dijual bagaimana? Hasilnya untuk pembangunan pondok sekalian.”

“Apa benar tidak apa-apa? Bukankah wanita itu suka memiliki perhiasan? Itu milikmu, semuanya tergantung kamu,” jawab Pak Masyhur.

“Iya Pak, tidak apa-apa, yang penting pondok berjalan dahulu. Masalah perhiasan gampang, besok-besok bisa beli lagi.” Halaman 31-32.

Membaca percakapan ini, saya sebagai seorang wanita pun tertegun dan berbisik dalam hati, "Wow.”

Perjuangan yang romantis, saling bantu saling membahu. Berjuang bersama memang seru. Seberat apa pun lika-liku setajam apa pun tikungan yang dilewati, asalkan berdua bukankah pegangannya akan semakin erat dan rasanya semakin menyenangkan?

Tapi berjuang berdua ini memang tidak bisa selamanya. Garis takdir kematian tidak ada yang tahu. Bisa jadi bersama bisa jadi tidak. Kisah berjuang berdua antara Pak Masyhur dan Ibu Malikah harus berakhir. Pak Masyhur meninggal dunia saat anak ke-delapannya masih berusia 40 hari.

Tidak perlu ditanya lagi, Ibu Malikah sangat sedih ditinggal oleh cintanya. Ditambah berpikir beban yang akan dipikulnya sendirian. Membesarkan ke-delapan anak dan meneruskan pesntren sedirian bukanlah hal ringan dilakukan oleh seorang wanita. Namun, Ibu Malikah tetap tegar hingga mampu mendidik ke-delapan anaknya dengan baik, hingga mampu melestarikan pesantren sampai detik ini.

Ibu Malikah tidak menikah lagi. Tentu, alasannya adalah cinta.

“Kalau soal yang menawari untuk menikah lagi itu ada. Aku pernah ditawari untuk menikah lagi dengan seorang pejabat, seorang yang memiliki kedudukan, dan tentunya juga cukup dalam urusan perekonomian. Untuk membantu kehidupan dan pesantren, tentu hal ini akan memudahkan. Tapi tidak, biarkan begini saja, aku akan mempertahankan bahtera cinta ini bagaimana pun juga, walaupun berjuang seorang diri saja. Biarkan aku menjadi orang yang setia disaat sudah memiliki cinta.” Halaman 65.

Ingin tahu perjuangan Ibu Malikah dalam mebesarkan ke-delapan anaknya dan melestarikan pesantren sendirian? Boleh banget dibaca bukunya teman-teman. Saya jamin kamu nggak akan rugi baca buku ini. Apalagi jika kamu adalah seorang wanita, sosok Ibu Malikah sangat pantas dijadikan contoh. Dalam ibadah, kemandirian, tanggungjawab, perjuangan, keteguhan, dan yang paling penting adalah tarbiyah anak-anak. Ya, seorang ibu harus dapat mendidik anak-anaknya agar menjadi generasi yang solih-solihah, apalagi tanggungan Ibu Malikah sebagai Bu Nyai harus dapat menjadikan ke-delapan anaknya kader umat.

Saya rasa dari sisi konten, buku ini tidak ada yang perlu dikritisi. Bahasa yang puitis menambah indah proses pemahaman terhadap alur cerita novel ini. Bahkan, buku ini berani saya rekomendasikan untuk dibaca adik-adik saya. Ada beberapa novel di rumah yang bisa saya katakan ghoiru tarbawi artinya tidak mendidik atau sama sekali tidak mengandung unsur pendidikan. Maka novel itu tidak akan saya izinkan dibaca oleh adik-adik.

Namun, ada beberapa kekurangan dari sisi lay-out dan editorial. Paragraf yang tidak rata kanan-kiri, juga awal paragraf yang tidak menjorok ke-dalam mungkin akan sangat mengganggu pandangan bagi pembaca yang suka rapi-rapi. Juga masih ada beberapa pemakaian huruf kapital dan pelatakan tanda baca yang menurut EYD kurang tepat. Kemudian buku ini juga belum dilengkapi dengan nomor ISBN.

Tentu saja, saya berharap semoga masih ada umur panjang dan dapat mebaca karya-karya selanjutnya dari kakak tingkat saya ini.

Akhirnya saya harus menutup resensi ini dengan sebuah puisi yang hanya bisa saya kutip. Terima kasih dan sampai jumpa di postingan berikutnya.


Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.



Lewat apa kusampaikan rasa?



Kata?

Tak akan dilihat



Suara?

Tak akan didengar



Mata?

Tak akan sampai



Sepertinya, satu-satunya

adalah doa.



Halaman 178

Tidak ada komentar:

Posting Komentar