Assalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuhu
Wah, tidak
terasa ya teman-teman postingan terakhir blog ini sudah hampir setahun yang
lalu. Rasanya malu sekali. Jarang bersih-bersih dan menghias rumah ini. Insya
Allah nanti akan ada renovasi besar-besaran. Geli juga rasanya melihat cover
blog yang usianya sudah delapan tahun lebih itu hehe.
Baiklah pada
kesempatan kali ini, kesempatan perdana di tahun 2020 izinkan saya untuk mempublikasikan
sebuah resensi buku. FYI ini juga masih resensi ke-tiga yang pernah saya
publikasikan di blog ini. Kalau ada yang masih ingat, resensi terakhir sebelum
ini adalah buku yang ditulis oleh kakak kelas di pondok yang berjudul “Kado
Dari Kairo”. Nah, kali ini saya ingin meresensi sebuah buku yang ditulis oleh
kakak tingkat saya di UGM. Entah kenapa kakak-kakak ini sangat produktif,
sedangkan saya masih bertanya pada diri sendiri. Kapan buku saya diresensi
orang? Nantikan aja pokoknya, haha.
Yuk, langsung aja kita masuk ke
resensinya ya...
Belajar Menjadi
Wanita dari Seorang Ibu Malikah
Judul Buku : Malikah, Keteguhan Jiwa Sang
Ibu Nyai Janda
Penulis : Mohammad Nizar
Editor :
4 Bidadari
Cetakan Pertama :
Maret 2019
Penerbit :
Al Rosyid Publishing, Media and Creative. Bojonegoro
Jumlah Halaman :
182 halaman
Novel ini
bercerita tentang lika-liku kehidupan seorang wanita. Ia lahir sebagai anak
bungsu dari sebuah keluarga yang terhormat. Beliau bernama Ibu Malikah, figur
seorang Ibu Nyai yang merupakan influencer bagi para santrinya. Novel ini
diangkat dari kisah nyata, namun saya kurang tahu apakah tokoh-tokoh di dalam
novel ini menggunakan nama asli atau tidak. Selayaknya wanita yang hidup pada
awal abad ke-20, beliau sangat menjunjung tinggi sopan santun tidak pernah
menolak perintah orang tua selama itu baik baginya. Menjadi wanita yang seutuhnya,
menjaga kehormatannya sebagai wanita hingga tiba waktnya dijodohkan oleh
ibunya.
Sayang, sedih
sekali dan saya juga terheran-heran bacanya. Secepat mempelai laki-laki
mengucap ijab qabul, secepat itu pula surat perceraian dilayangkan. Resmi sudah
Ibu Malikah yang masih berusia 18 ketika itu sudah harus menjadi janda. Tak lama
setelah beliau menjanda kesedihannya bertambah dengan meninggalnya ibu
tercinta. Lalu sang ayah menikah lagi. Ibu Malikah tetap menghormati ibu
tirinya. Dan ibu tirinya inilah yang menikahkan beliau lagi.
Ibu Malikah
dinikahkan oleh seorang duda juga yang bernama Mas Masyhur. Karena masih muda panggilannya
pun juga harus muda yaitu dengan sebutan “Mas”. Mas Masyhur dikisahkan sebagai
seseorang yang selalu disibukkan dengan kegiatan yang berlatar belakang
kepentingan umat. Seperti pembangunan masjid untuk masyarakat dan juga mengajar
ngaji. Oleh karena itu harta beliau berdua selain digunakan untuk nafkah
keluarga juga disisihkan untuk pembangunan masjid.
Seiring
bertambahnya keturunan, panggilan pun berubah menjadi “Pak” atau lengkapnya “Bapak”.
Tanpa disangka-sangka suatu ketika, murid-murid mengaji Pak Masyhur datang ke
rumah beliau dan minta agar bisa tinggal bersama keluarga Pak Masyhur. Ya rata-rata
memang beginilah cikal bakal berdirinya sebuah pesantren. Sama persis dengan
yang pernah saya pelajari dalam pelajaran kepondokmodernan beberapa tahun
silam. Awal mula Pak Masyhur masih menolak dengan penuh pertimbangan. Namun karena
murid-murid terus meminta maka Pak Masyhur akhirnya meng-iyakan.
Pesantren terbentuk,
murid-murid bertambah banyak perjuanganpun harus lebih keras. Sampai suatu
ketika untuk membantu pesantren Ibu Malikah merelakan semua perhiasannya. Mungkin
bagi wanita ini adalah hal yang cukup berat yang harus dilakukan. Tapi Ibu
Malikah tetap ikhlas, dalam hidupnya kini yang terpenting anak-anak tetap bisa
tinggal di pesantren dan tetap mengaji.
“Pak, kalau
misal semua perhiasan yang kupunya juga dijual bagaimana? Hasilnya untuk
pembangunan pondok sekalian.”
“Apa benar
tidak apa-apa? Bukankah wanita itu suka memiliki perhiasan? Itu milikmu,
semuanya tergantung kamu,” jawab Pak Masyhur.
“Iya Pak,
tidak apa-apa, yang penting pondok berjalan dahulu. Masalah perhiasan gampang,
besok-besok bisa beli lagi.” Halaman 31-32.
Membaca percakapan
ini, saya sebagai seorang wanita pun tertegun dan berbisik dalam hati, "Wow.”
Perjuangan yang
romantis, saling bantu saling membahu. Berjuang bersama memang seru. Seberat apa
pun lika-liku setajam apa pun tikungan yang dilewati, asalkan berdua bukankah
pegangannya akan semakin erat dan rasanya semakin menyenangkan?
Tapi berjuang
berdua ini memang tidak bisa selamanya. Garis takdir kematian tidak ada yang
tahu. Bisa jadi bersama bisa jadi tidak. Kisah berjuang berdua antara Pak
Masyhur dan Ibu Malikah harus berakhir. Pak Masyhur meninggal dunia saat anak
ke-delapannya masih berusia 40 hari.
Tidak perlu
ditanya lagi, Ibu Malikah sangat sedih ditinggal oleh cintanya. Ditambah berpikir
beban yang akan dipikulnya sendirian. Membesarkan ke-delapan anak dan
meneruskan pesntren sedirian bukanlah hal ringan dilakukan oleh seorang wanita.
Namun, Ibu Malikah tetap tegar hingga mampu mendidik ke-delapan anaknya dengan
baik, hingga mampu melestarikan pesantren sampai detik ini.
Ibu Malikah
tidak menikah lagi. Tentu, alasannya adalah cinta.
“Kalau soal
yang menawari untuk menikah lagi itu ada. Aku pernah ditawari untuk menikah
lagi dengan seorang pejabat, seorang yang memiliki kedudukan, dan tentunya juga
cukup dalam urusan perekonomian. Untuk membantu kehidupan dan pesantren, tentu
hal ini akan memudahkan. Tapi tidak, biarkan begini saja, aku akan
mempertahankan bahtera cinta ini bagaimana pun juga, walaupun berjuang seorang
diri saja. Biarkan aku menjadi orang yang setia disaat sudah memiliki cinta.”
Halaman 65.
Ingin tahu
perjuangan Ibu Malikah dalam mebesarkan ke-delapan anaknya dan melestarikan
pesantren sendirian? Boleh banget dibaca bukunya teman-teman. Saya jamin kamu
nggak akan rugi baca buku ini. Apalagi jika kamu adalah seorang wanita, sosok
Ibu Malikah sangat pantas dijadikan contoh. Dalam ibadah, kemandirian, tanggungjawab,
perjuangan, keteguhan, dan yang paling penting adalah tarbiyah anak-anak. Ya,
seorang ibu harus dapat mendidik anak-anaknya agar menjadi generasi yang
solih-solihah, apalagi tanggungan Ibu Malikah sebagai Bu Nyai harus dapat
menjadikan ke-delapan anaknya kader umat.
Saya rasa dari
sisi konten, buku ini tidak ada yang perlu dikritisi. Bahasa yang puitis
menambah indah proses pemahaman terhadap alur cerita novel ini. Bahkan, buku
ini berani saya rekomendasikan untuk dibaca adik-adik saya. Ada beberapa novel
di rumah yang bisa saya katakan ghoiru tarbawi artinya tidak mendidik
atau sama sekali tidak mengandung unsur pendidikan. Maka novel itu tidak akan
saya izinkan dibaca oleh adik-adik.
Namun, ada
beberapa kekurangan dari sisi lay-out dan editorial. Paragraf yang tidak rata
kanan-kiri, juga awal paragraf yang tidak menjorok ke-dalam mungkin akan sangat
mengganggu pandangan bagi pembaca yang suka rapi-rapi. Juga masih ada beberapa
pemakaian huruf kapital dan pelatakan tanda baca yang menurut EYD kurang tepat.
Kemudian buku ini juga belum dilengkapi dengan nomor ISBN.
Tentu saja, saya
berharap semoga masih ada umur panjang dan dapat mebaca karya-karya selanjutnya
dari kakak tingkat saya ini.
Akhirnya saya
harus menutup resensi ini dengan sebuah puisi yang hanya bisa saya kutip.
Terima kasih dan sampai jumpa di postingan berikutnya.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.
Lewat
apa kusampaikan rasa?
Kata?
Tak
akan dilihat
Suara?
Tak
akan didengar
Mata?
Tak
akan sampai
Sepertinya,
satu-satunya
adalah
doa.
Halaman
178
Tidak ada komentar:
Posting Komentar