Assalamu’alaikum
wr wb
Alhamdulillah... Ujian Akhir Semester
di kampus sudah selesai. Tepatnya pada tanggal 27 Juni 2019. Lega sekali
rasanya telah menyelesaikan ujian pada semester ini. Ya walaupun nilainya masih
belum diketahui. Semoga nilainya baik-baik saja.
Satu semester yang penuh dengan tugas
dan ujian tentu membuat kepala penat dan rasanya ingin ditumpahkan. Ditambah lagi
dengan masalah-masalah hidup lainnya. STOP! Saya sedang tidak ingin cerita itu.
Untuk sedikit mengurangi atau sekedar
melupakan beban hidup sejenak, saya dan ketiga teman saya berencana untuk
muncak ke Gunung Prau. Awalnya kami ingin ke Ijen, tapi karena jarak yang jauh
dan persiapan yang singkat jadi salah satu teman kami mengusulkan untuk ke
Wonosobo saja.
Jum’at, 28 Juni 2019
Tak disangka waktu yang
ditunggu-tunggu tiba juga. Jum’at pagi itu saya sangat bersemangat untuk
mengemas barang-barang. Karena jalur paling enak yang dapat dilalui dari Jogja
adalah jalur Moyudan-Kalibawang-Borobudur-Wonosobo-Dieng, jadi titik kumpul
kami di rumah saya yang letaknya di Jl. Wates km 11.
Rencana kami berangkat pukul 11.00
WIB, saya sudah siap dengan semua bawaan saya namun teman-teman saya tak
kunjung datang. Mereke baru tiba di rumah saat adzan dzuhur berkumandang. Akhirnya,
kami putuskan untuk menunggu Jum’atan di masjid selesai dan sholat dzuhur
terlebih dahulu.
Kami lepas landas dari rumah pukul
13.20. Saya bahagia sekali bisa diizinkan berangkat rihlah ini. Karena biasanya
Bapak dan Mamah saya agak sulit memberi izin kalau untuk main-main. Entah kenapa
yang kali ini sangat mudah. Sepertinya saya tahu sebabnya, tapi saya tidak bisa
cerita, dan saya juga tidak ingin memastikannya ke Bapak dan Mamah.
Di jalan, saya sangat excited
dengan pemandangan sawah yang sangat luas. Sejauh mata memandang hanya ada
sawah dan pegunungan, jalannya pun halus dan beraspal. Jalanan seperti ini
jarang saya temui, biasanya kalau ke kampus ya gitu-gitu aja jalannya malahan
seringnya macet. Sepanjang jalan Sedayu sampai perbatasan Jogja-Magelang hanya
ada dua lampu merah yang kami temui. Bertemu lampu merah lagi ketika sudah
sampai di Borobudur.
Jalan pegunungan di Kalibawang masih
bisa dikategorikan landai. Memang naik turun tapi masih landai, masih biasa
aja. Nah, ketika tiba di Wonosobo baru jalanannya naik-turun dan bisa dibilang
cukup curam. Sudah turun pasti naik, belum yang naik sambil berbelok. Ditambah dengan
motor saya yang motor gigi, karakter motor gigi pastinya kalau naik memang
nggak bisa pelan harus kenceng dari awal. Kalau pelan-pelan malah bisa berhenti
di tengah. Kan serem, apalagi saya bawa temen saya di belakang.
Jogja-Wonosobo akhirnya dapat kami
lalui dengan satu kali istirahat dan satu kali sholat. Pukul 17 lebih sekian kami tiba di Dieng dan
memasuki gerbang yang bertulisakn “Selamat Datang di Dieng Plateu”. Biasanya yang
sering saya kunjungi selama ini adalah Siwa Plateu. Bedanya, Siwa Plateu itu
adanya di Prambanan kali ini saya ada di Dieng.. Yeee.
Kami mulai naik menembus kabut eh
kabut atau awan yaa.. suhu dingin mulai menusuk tubuh. Tanjakan di Dieng memang
curam dan panjang. Jadi harus hati-hati. Yang paling mengesankan adalah di
tengah-tengah perjalanan kami, ketika menengok ke sisi kanan Allah telah
menyuguhkan pemandangan yang begitu indah. Yaitu pemandangan Gunung Sundoro
yang memantulkan sinar matahari senja dengan awan menggantung di lehernya.
Itu beberapa foto yang sempat kami
ambil dari pinggir jalan. Indah sekali kan? Subhanallah, kami
benar-benar merasa beruntung bisa mendapati pemandangan seindah ini. Karena
nggak setiap sore lho pemandangannya bisa sindah ini.
Setelah puas mengambil foto, kami melanjutkan
perjalanan menuuju basecamp Tapak Banteng di Dieng. Kami tiba di basecamp
tepat saat adzan maghrib berkumandang. Kami segera parkir motor, registrasi,
titip helm, sewa tenda dan sleeping bag, lalu istirahat sebentar untuk sholat. Suhu
di Dieng saat itu sudah 15 derajat celcius. Dingin.
Kami naik ke Prau setelah sholat isya’,
dengan harapan pukul 22 bisa sampai puncak. Tapi kenyataannya??? Hahaha.
Jalanan menuju POS 1 memang sangat
menanjak menurut saya. Jadi model medannya tangga dengan kemiringan yang bisa
dibilang hampir 90 derajat. Ini yang membuat nafas saya sangat-sangat tersengal
di awal. Hingga saya tak mampu lagi membawa tas yang berisi botol aqua 1,5
liter dua buah. Hwuaaa.. dan akhirnya saya bertukar tas dengan teman saya. Padahal
tubuh teman saya ini lebih kecil dari saya. Oke, kalian boleh tertawa di bagian
sini.
Akhirnya kami berhenti untuk
istirahat di sebuah pelataran rumah. Kemudian melaanjutkan perjalanan lagi. Entah
kenapa perjalanan itu terasa begitu berat dan lama. Saya dan dua teman lain
yang sama sekali belum pernah muncak di Prau selalu bertanya-tanya, “Pos 1-nya
mana?” kemudian teman saya yang sudah berpengalaman selalu bilang, “Bentar lagi
kok.” Walau pun kenyataannya pahit, karena masih jauh. Begitupun sama jawabannya
ketika kami bertanya, “Pos 2-nya mana???”, atau “Pos 3-nya mana???”, juga “Puncaknya
manaa???”
Kami selalu bertanya dengan
rengekan-rengekan itu karena kelelahan. Sampai saya pun juga sebenarnya
bertanya-tanya dalam hati, “Kok nggak sampai-sampai sihhh??” Karena malam, jadi
jalanan memang tak terlihat. Sudah tak terlihat, terus naik dan terus menguras
tenaga. Tapi teman saya selalu memberi kami semangat, “Itu lho udah kedengeran
suara banyak orang, berarti udah mau sampai puncak.” Sabar banget pokoknya
temen saya yang satu ini.
Medan pendakian Gunung Prau memang
selalu dipenuhi banyak orang. Namun malam itu tak begitu ramai, tapi ya ada
hanya nggak sampai macet gitu. Yang membuat menguras tenaga memang trek nya
selalu menanjak, ya namanya juga naik gunung ya pasti menanjak. Maksudnya,
nggak ada yang landai gitu. Ada bagian yang landai, tapi hanya sekitar 50 meter
entah ada atau tidak, itu berada di antara pos 1 dan 2.
Setelah kami melewati perjalanan
malam yang begitu panjang dan melelahkan serta seakan tak sampai-sampai
akhirnya kami tiba juga di puncak. Alhamdulillah, kami tidak menyangka kalau
kami bisa sampai di puncak Prau 2.565 mdpl. Saya sangat terharu. Ternyata,
menuju puncak memang tak mudah. Menuju puncak apa pun.
Kami tiba di puncak sekitar pukul
23.30. HP kami sudah tak mendapatkan sinyal di sana. Kami segera membangun
tenda yang sudah kami sewa setelah mendapatkan tempat, biasanya sih kalau dalam
perkemahan Pramuka bilangnya tapak kemah wkwkwk. Sebelum tidur, karena lapar
akhirnya kami memasak mie instant terlebih dahulu. Suhu sudah menunjukkan angka
10 derajat celcius. Kami segera menyiapkan sleeping bag untuk tidur. Tapi setelah
masuk sleeping bag, saya tak merasakan perbedaan suhu yang signifikan. Bahkan,
kaki dan tangan saya masih tetap kedinginan walaupun sudah pakai sarung tangan
dan kaos kaki.
Sabtu, 29 Juni 2019
Saya menggigil, dan pada pukul 03.00 saya
putuskan untuk lebih baik keluar tenda dan masak-masak. Merebus air untuk
membuat energen dan coklat. Lumayan, agak sedikit lebih hangat. Kemudian masuk
tenda lagi untuk meminumnya bersama teman-teman. Teman-teman saya ikut
terbangun melihat saya membawa minuman yang hangat-hangat. Kami terjaga hingga
pukul 04.00 sebelum akhirnya tidur lagi sampai waktu subuh tiba. Hingga pada
akhirnya yang kami nanti-nanti, yang kami perjuangkan dari lelahnya pendakian
ini tiba juga. Sunrise!!!!
Semburat kemerah-merahan memanjang
dari utara ke selatan. Ya Allah.. indah sekali.. seluruh camp mulai
ribut dengan hal ini. Kami semua keluar tenda dan memburu foto-foto sunrise
tersebut.
Setelah, matahari mulai meninggi dan
penampakan banyak gunung mulai terlihat kami pun tak ketinggalan mengabadikan
momen berharga ini.
Ini adalah kami berempat; Khazima, Alfina, Devi, dan Timit
Gimana? Bagus-bagus kan view-nya?
Semoga temen-temen terinspirasi untuk ke sana yaa.. pokoknya bener-bener wonderful
Indonesia.
Kami turun dari puncak sekitar pukul
09.00 dan sampai di bawah saat adzan dzuhur berkumandang. Saat turun, kami baru
sadar ternyata, masya Allah inilah trek yang semalam kami lalui. Saat turun
yang saya takutkan adalah terpeleset dan menggelinding ke bawah. Jadi saya
turun dengan sangat hati-hati. Karena menahan badan dan rasa takut serta
khawatir lama kelamaan kaki saya pun bergetar. Inilah yang dinamakan dengan
tremor. Saat hampir tiba di pos 1 ada warung yang menjajakan semangka, pisang,
gorengan, arem-arem, dan alhamdulillah ada toiletnya. Kami pun mampir di situ
untuk ke toilet dan sarapan. Saat memegang tahu goreng tangan saya masih
bergetar sendiri. Tidak apa-apa, hanya perlu melanjutkan perjalanan dengan pelan-pelan.
Sayangnya, sepatu yang saya gunakan
bukanlah sepatu gunung. Meskipun sepatu saya tergolong masih baru, baru sekitar
3 bulan saya beli tapi karena memang bukan sepatu gunung jadi agak licin
apalagi digunakan untuk turun gunung. Beberapa kali saya terpeleset. Yang paling
parah adalah ketika terpeleset di ladang kentang. Pagi itu ladang kentangnya
sedang di siram, jadi tanahnya basah dan licin, jaket saya pun kotor oleh tanah
basah karena terpeleset.
Yang paling membuat saya terkesan
dari pendakian ini adalah kami bertemu dengan para keluarga pendaki. Saya heran,
anak kecil usia sekitar empat tahun sudah diajak mendaki oleh bapak-ibunya. Bahkan
mereka bertiga lebih cepat sampainya dari pada kami. Ada juga, satu keluarga
dibawa mendaki semua. Ada ayah, ibu dan ke-empat anaknya, yang paling besar
anaknya usia SMP kelas 2, sedangkan yang paling kecil usia 1,5 tahun. Luar biasa
ya.. luar biasa Ayah Bundanya mengajak anak-anak memahami agungnya ciptaan
Allah dengan susah payah membawa mereka dalam sebuah pendakian.
Dan saya juga terkesan oleh Ayah dan
anak perempuan pertamanya. Anaknya cantik. Sepertinya memang sudah biasa naik
gunung bersama sang ayah. So sweet sekali. Ada juga anak laki-laki dan
ayahnya. Sepertinya dari kecil memang sudah dididik untuk suka berpetualang
naik gunung. Inspiratif.
Sepertinya tidak perlu sampai pulang
saya ceritakan ya.. kalau ada yang ingin tahu cerita pulangnya boleh bertanya via
comment atau DM Instagram juga tidak maslah. Tapi saya rasa intinya sudah yang ada
di atas aja sih.. Semoga bermanfaat.
Wassalamu’alaikum wr wb
Sincerely,
Alfina R. A
Thanks for sharing, sukses terus..
BalasHapusKunjungi juga http://bit.ly/2F3UmIv