Jumat, 26 Januari 2024

Jalanan Ini, Terjal Ya? (Part 2)

Maret 2023

"Jis, kamu ada buku panduan buat BPI nggak?" saya memulai percakapan pada suatu hari di awal bulan itu.

"Bentar, aku tanyain temenku ya Mbak" jawabnya.

Hari itu juga saya mendapatkan buku panduan Beasiswa Pendidikan Indonesia yang telah terbit untuk tahun 2022. Ya Allah, kalau di tahun 2022 saya tahu ada beasiswa ini mungkin saya akan daftar di tahun itu. Tapi saya yakin takdir Allah tidak pernah salah. Pasti ada maksudnya kenapa saya baru tahu di tahun 2023.

Saya baca halaman demi halaman buku panduan tersebut. Saya pahami baris demi baris persyaratan masing-masing segmentasi. Ternyata, Beasiswa Pendidikan Indonesia ini memiliki beberapa segmentasi. Untuk S2 sendiri terbagi menjadi 6 segmentasi yaitu: S2 Pendidikan Perguruan Tinggi Akademik (PTA), S2 Pendidikan Perguruan Tinggi Vokasi (PTV), S2 Pelaku Budaya, S2 Pendidik dan Tenaga Kependidikan, S2 Beasiswa Indonesia Maju, Beasiswa Stipendium Hungaricum (Top Up). Setelah saya baca semuanya, kriteria yang paling bisa saya masuki adalah S2 Pelaku Budaya.

Sebetulnya saya juga ragu, yakin Pelaku Budaya? Karena saya sendiri pun bisa dibilang tidak merasa se-berbudaya itu. Tapi secara dokumen oke nih, kayaknya bisa. Sayang nggak sih kalau nggak dicoba. Akhirnya, untuk meyakinkan diri, saya coba tanyakan lagi ke teman saya, Azis. Ada teman yang sudah jadi awardee belum di prodi Linguistik UGM. Kata Azis ada. Saya minta kontaknya, dikasihlah. Namanya, Mas Arif.

Dengan perkenalan yang singkat dan pembukaan yang seadanya tapi saya usahakan sesantun mungkin, secara straight forward saya izin untuk telpon. Telpon untuk konsultasi tentu saja. 

"Mas Arif bisanya kapan?" 

"Malam aja, Mbak. Jam 20?"

Sayangnya, jam 20 saya ada acara di masjid akhirnya saya minta dispensasi. Opsinya kalau Mas Arif bisa keesokan harinya ya berarti ditunda sampai hari berikutnya atau tetap malam tapi setelah saya pulang dari masjid sekitar pukul 22. Mas Arif memilih tetap di malam tersebut walau pukul 22. Saya pikir, ya sudah gapapa karena ini tujuannya konsultasi dan insya Allah profesional. Obrolannya nggak akan kemana-mana. Intinya, di situ saya meyakinkan diri. Iya kan jalurnya Pelaku Budaya? Posisi saya seperti ini, saya eligible kan? Sepenglihatan Mas Arif eligible dan sarannya, ya dicoba dulu aja.

Entah kenapa, melihat persyaratan dan cerita dari Mas Arif, ada keyakinan dalam diri saya. Bisa nih! Walaupun dengan skema saya bayar UKT pertama dulu yang kalau lolos akan ada reimbursement. Untuk memotivasi diri sendiri, saya menuliskan, "Semangat, Fin! UKT awal 9 juta." dan "You deserve BPI, Fin!!" pada sebuah memo yang saya tempelkan di dinding kamar supaya saya selalu ingat. Keyakinan ini juga dilapisi dengan keyakinan yang lain yaitu kalaupun tidak dengan beasiswa, insya Allah akan ada rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.

Pada bulan itu saya pun merasa bahwa posisi saya di perusahaan sudah tidak bisa membuat saya berkembang lagi. Di bulan itu juga sebetulnya kontrak saya habis, ada tawaran perpanjang boleh diambil boleh tidak. Anehnya, saya diberi keyakinan oleh Allah untuk tidak lanjut. Singkatnya, saya end contract di akhir Maret yang mana itu beberapa hari sebelum memasuki bulan suci Ramadhan. 

Full di bulan Ramadhan saya jobless

April-Mei 2023

Saya memanfaatkan momen bulan Ramadhan yang jobless selain untuk ibadah juga untuk membuat essai. Harapan saya, bulan Ramadhan usai draft full essay juga sudah selesai. Alhamdulillah target tercapai. Selain essay saya juga apply untuk pekerjaan lain. Karena tetap harus ada plan A dan plan B. Kita tidak tahu kemungkinan mana yang akan terjadi.

Pada tanggal 2 Mei 2023, pendaftaran beasiswa dibuka. Untuk dalam negeri waktunya lumayan lama, pendaftaran ditutup pada 30 Juni 2023. Sekitar 2 bulan durasinya. Saya cermati kembali untuk persyaratan S2 Pelaku Budaya. Kok ada yang beda dari tahun 2022. Waduh, waduh, waduh. Mulai sedikit panik nih. 

Perbedaan syarat beasiswa pelaku budaya tahun 2022 dan 2023 terletak pada surat rekomendasi dari Dirjen Kebudayaan. Syarat ini pada tahun 2022 tidak ada dan baru diadakan di tahun 2023. Oke tenang, yuk mari dipahami dulu bagaimana cara mendapatkan surat rekomendasi tersebut.

Setelah dibaca-baca, oh oke, harus ada portofolio. Portofolio apa nih? Portofolio yang mencerminkan bahwa diri ini punya kontribusi di bidang seni atau kebudayaan, serta memiliki peran di masyarakat terkait dengan kebudayaan. Akhirnya, saya meniatkan diri untuk membuat portofolio tersebut selama satu minggu pertama di bulan Mei.

Seperti apa portofolionya? Nah, seandainya teman-teman memang ada niat untuk mendaftar BPI dengan segmentasi Pelaku Budaya juga, kindly email me di adawiyahalfina22@gmail.com aja temen-temen. Insya Allah nanti saya kirimkan contoh file portofolio yang saya gunakan untuk mendapatkan rekomendasi dari Dirjen Kebudayaan.

Alhamdulillah tidak sampai seminggu setelah mengajukan permohonan kepada Dirjen Kebudayaan saya mendapatkan balasan email yang berisi surat rekomendasi tersebut. Ahh, betapa Allah sangat memudahkan.

Kabar bahagianya juga, selesai saya mengurus semua dokumen untuk syarat administrasi saya mendapat pekerjaan baru. Yaitu di sebuah lembaga bimbingan belajar untuk mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri. Mungkin temen-temen juga sudah familiar dengan lembaga tersebut.

Senang sekali mendapatkan pekerjaan baru yang memang sesuai dengan passion saya yaitu studi lanjut dan juga study abroad. Bahkan di sini saya banyak belajar dari kegagalan banyak orang yang saya temui sebagai client di perusahaan ini.

Tak lupa juga di akhir Mei ini saya melakukan daftar ulang di UMUGM, yang mana ini menjadi syarat supaya saya bisa masuk di semester ganjil 2023. Untuk pendaftaran ulang tidak dipungut biaya karena akan di-bypass oleh admin.

Juni 2023

Dua minggu pertama di bulan Juni, selain beradaptasi dengan pekerjaan baru saya gunakan waktu tersebut untuk minta saran terkait essay yang saya tulis. Pertama, saya minta tolong kepada dosen pembimbing skripsi saya untuk melakukan pembacaan. Walaupun secara substansi beliau tidak terlalu banyak memberikan masukan, tapi editing beliau terhadap essay saya sangat berpengaruh. Ibarat sebuah wajah, essay saya yang belum diedit oleh beliau adalah bare face, tanpa make up. Setelah diedit beliau, essay tersebut jadi lebih cantik. Kedua, saya minta tolong kepada kakak tingkat saya yang menerima beasiswa LPDP. Nah, untuk kakak tingkat saya ini lebih banyak mengkritisi substansi nya. Ke-tiga ada teman seangkatan saya, Azis sang informan dan ke-empat tentu saja Mas Arif yang selalu saya tanya apa-apa tentang beasiswa ini. Lalu yang kelima, ada Pak Dede selaku pembimbing beasiswa saya selama S1 dari Alam Aksara.

Alhamdulillah-nya, orang-orang yang saya pilih untuk memberi masukan terhadap essay yang saya buat memang masukannya sangat beragam tapi saling melengkapi. Tips memilih pembaca essay beasiswa: karena perjalanan mencari beasiswa dan sekolah lagi itu adalah perjalanan yang penuh dengan kesunyian, pastikan partner cerita teman-teman bukanlah orang yang berpotensi kita anggap sebagai saingan. Sebab, timbul sedikit rasa itu akan merusak konsentrasi dan mengeruhkan niat dalam kemurnian hati.

Setalah semua masukan ditampung dan dipilah, saya lakukan editing terakhir dan saya putuskan untuk mengunci administrasi 5 hari sebelum penutupan yaitu di sekitaran tanggal 25 Juni 2023. Kenapa saya memilih 5 hari sebelum penutupan? Karena saya butuh checking semua kelengkapan, dan checking ini saya lakukan berkali-kali. Mengapa tidak di tanggal 30? Karena pendaftar banyak, kita tidak pernah tahu kapan website akan down. Setidaknya, jika di H-5 ada suatu kendala maka masih ada kesempatan di hari berikutnya untuk submit. Saya sangat bersyukur submit di H-5 itu lancar tanpa kendala, bismillah aja pokoknya.

Juli 2023

Masa penantian pengumuman administrasi. Tak ada hal lain yang dilakukan selain bekerja dan banyak-banyak doa. Oya, Juli ini timeline bayar UKT pertama yang 9 juta rupiah itu. Jujur, sebagian dari 9 juta itu saya pinjam ke bapak saya. 

Agustus 2023

Tanggal 8 Agustus 2023, akhirnya diumumkan hasil seleksi administrasi. Alhamdulillah lolos. So, what's next? tentu saja persiapan untuk wawancara. Siapa yang bisa bantu saya? Kembali lagi Azis sang informan dan juga Mas Arif. Tapi yang paling pertama saya hubungi adalah Mas Arif (salah satu awardee BPI), tentu untuk bertanya seperti apa proses wawancaranya? Apa saja yang ditanya? Saya harus gimana? Baru setelahnya saya juga minta mock up interview ke Azis, supaya lebih banyak sudut pandang.

Tidak lama setelah itu jadwal wawancara keluar. Saya mendapatkan jadwal di hari Selasa jam 9 pagi. Untungnya tidak ada kuliah jadi tidak perlu repot mengurus izin meninggalkan kuliah. Oya anyway, saat dijadwalkan wawancara saya sudah masuk kuliah, dan sambil kerja.

Pengalaman wawancara ini jika dijelaskan mungkin akan panjang lebar juga. Next, kalau memang ada yang ingin tahu seperti apa pengalaman saya untuk interview ini, boleh banget kalau mau email dan minta diceritain.

Akhir Agustus, hectic mengejar target perusahaan. Di sini saya merasakan, ohh ternyata gini kuliah sambil kerja, capek yaa. Pas dosen jelasin di kelas, saya harus ambil tempat duduk di belakang karena masih harus sambil kerja. Saya pun berpikir, ini gimana ngerjain tugasnya kalau kerjaan saya nggak bisa ditinggal kayak gini. Iya benar bisa disambi kuliah, tapi kerjaannya ikut kuliah huhu.

September 2023

Awal September masih sibuk kerja-kuliah sambil ya Allah ya Allah. Selain ngantor dan kerja saat kuliah, di kerjaan yang ini juga ada tugas dinas luar kota. Kadang weekend dikirim ke Jakarta, Lampung, Cilacap, Tasikmalaya dan kota-kota lainnya. Setiap pulang dari dinas pasti capek banget temen-temen. Karena kalau dinas pasti acaranya Minggu. Kalau mau langsung istirahat dan Senin kuliahnya bisa dalam keadaan fresh, berarti habis acara langsung pulang. Kalau event di Jakarta meskipun langsung pulang pasti sampai rumahnya Senin pagi. Saya bukan tipe orang yang bisa tidur istirahat di kereta. Kalaupun tidur pasti badan pegel semua. Senin pagi saya harus lanjut tidur sampai siang, padahal jam 13 ada jadwal kuliah. Arrgh, silahkan dibayangkan. Bagi saya itu melelahkan. Sampai setiap saya mau berangkat dinas bapak ibu saya selalu bilang, "Ya Allah nak, kerjamu keras banget ya.." Saya hanya selalu menjawab dengan, "Bu, Pak doakan biar beasiswanya ketrima, biar nggak kuliah-kerja ngoyo kayak gini." sambil mencium tangan beliau berdua.

Pengumuman hasil wawancara tak kunjung terbit. Tentu saya ketar-ketir. Bahkan di kampus saya sudah hampir UTS. Saya cari info, tahun sebelumnya pengumuman hasil wawancara tanggal berapa, ternyata tahun sebelumnya awal September sudah pengumuman. Ini kok belum. Sabar, sabar.. yuk bisa yukk. Ketika itu saya sudah dititik pasrah, Ya Allah kalau memang ini adalah bantuan yang akan Engkau berikan maka tidak akan pernah salah alamat. Tapi kalau bukan melalui beasiswa ini, hamba yakin pasti ada rezeki yang lain.

Akhirnya pada tanggal 27 September 2023, beberapa hari sebelum UTS pengumuman itu terbit juga. Alhamdulillah, lolos!!! Sorenya, saya langsung minta izin resign ke atasan saya. Dimudahkan juga, alhamdulillah.

Gimana temen-temen, panjang ya ceritanya? Mudah tidak prosesnya? Bagi saya tidak mudah.. Bersyukurlah jika temen-temen punya versi cerita yang lebih mudah. Buat yang masih berjuang tetep semangat insya Allah manisnya hidup itu memang ada setelah lelah berjuang.

Semoga ada yang bisa teman-teman ambil dari cerita ini. Salam juang dari saya yang juga masih berjuang memenuhi ekspektasi-ekspektasi yang tertuang dalam essay.

Sincerely,

Fina

#If you have any question, kindly email me gaes (adawiyahalfina22@gmail.com)

Sehat selalu teman-teman magister..

Selasa, 23 Januari 2024

Jalanan Ini, Terjal Ya? (Part 1)

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi keingintahuan teman-teman terkait sebetulnya beasiswa apa sih yang saya dapatkan sehingga saya bisa lanjut studi S2. Sebetulnya, dari awal sejak saya dinyatakan diterima pada September 2023 lalu sudah ada yang menanyakan, "Mbak, caranya gimana?" Saya jawab, "Iya, insya Allah nanti aku spill ya.." ehh, ternyata "nanti" nya kelewat lama, sampai berganti tahun dan musim baru bisa membuat tulisan ini. Mohon dimaafkan karena memang kesibukan yang cukup luar biasa ketika itu. September tahun lalu, kuliah sudah hampir setengah jalan yang artinya saat itu saya sedang mempersiapkan UTS dan berpadu dengan hectic-nya transisi dari status bekerja menjadi tidak bekerja (resign). Selesai UTS, sudah langsung dibayang-bayangi dengan tugas makalah untuk UAS. Akhirnya, pada liburan semester yang sudah hampir di penghujung, melalui tulisan ini saya coba ingat-ingat kembali momen beberapa bulan bahkan beberapa tahun yang lalu itu.

Oktober 2021

Ini adalah awal mula saya memasuki dunia pekerjaan. Saya sangat bersyukur bisa menjadi bagian dari salah satu perusahaan edutech terbesar se-Asia Tenggara. Setelah wisuda secara online pada Mei 2021, tentu saya pun mengalami fase bingung mau ke mana setelah wisuda. Kebetulan CPNS buka di tahun tersebut sehingga saya bisa mencoba daftar untuk formasi lulusan terbaik di BPK pulau Jawa. Sayang sekali, singkatnya CPNS ini belum jadi rejeki saya. Sedih, tentu iya karena sebelum diterima salah satu perusahaan edutech, CPNS ini adalah satu-satunya loker yang saya apply

Apa tidak berniat untuk langsung S2 ketika itu? Tentu berniat. Sayangnya Alfina yang masih di usia awal 20-an belum kehilangan idealismenya. Inginnya study abroad, tapi kurang memahami kemampuan diri terutama dalam hal Bahasa Inggris. Apakah saat bekerja di perusahaan edutech masih punya keinginan untuk lanjut studi? jawabannya masih. Setelah riset mengenai beasiswa-beasiswa yang bisa digunakan untuk studi abroad dan merasa sepertinya sulit untuk memenuhi persyaratannya terutama IELTS, maka saya memutuskan untuk banting steer ke dalam negeri. Banting steer ini terjadi pada akhir tahun 2021, sehingga pada akhir tahun itu saya mulai memetakan langkah.

Januari-April 2022

Salah satu syarat untuk bisa diterima di salah satu perguruan tinggi di Indonesia adalah TOEFL ITP. Maka dari itu saya mulai belajar bersama bimbingan belajar di Jogja sambil bekerja dan juga tes. Syarat agar bisa diterima di jurusan yang saya inginkan adalah TOEFL ITP dengan score minimal 450. Saat itu, beasiswa yang saya incar adalah beasiswa LPDP Reguler karena yang saya tahu hanya gerbang tersebut yang bisa terbuka untuk saya. Syarat LPDP Reguler adalah TOEFL ITP dengan score minimal 500.

Tiga kali saya mencoba official test TOEFL ITP tapi yang ada tiga-tiganya tidak sampai score 500. Paling tinggi score saya 497. Ya, ini adalah salah satu definisi dari sakit yang tidak berdarah. Satu test saya lakukan pada bulan Januari, dua test saya lakukan pada bulan Maret. Maret ke April, saya mencoba berpikir apa yang harus saya lakukan dengan score yang tidak sampai 500 ini. Saya coba cari-cari beasiswa yang bisa menerima score di bawah 500 tapi hasilnya selalu ada persyaratan yang tidak bisa saya penuhi, misal harus merupan anggota dari keluarga harapan, atau harus berasal dari Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN).

Keputusan saya, saya coba gunakan score ini untuk mendaftar ke universitas terlebih dahulu. Jika diterima, maka saya akan menunda kuliah hingga semester gasal 2023 sambil mencari info beasiswa atau satu-satunya jalan agar bisa daftar LPDP yaitu dengan memperbaiki score TOEFL.

Mei-Juni 2022

Sambil terus meneguhkan hati, saya penuhi syarat-syarat pendaftaran prodi Magister Linguistik di Universitas Gadjah Mada. Alhamdulillah untuk PAPs menurut saya ini test yang cukup mudah dibanding test TOEFL, jadi untuk melampaui passing grade cukup satu kali test saja. Juni 2022 adalah pengumuman UMUGM, dan alhamdulillah diterima lalu terbitlah LoA. Setelah dinyatakan diterima saya mengajukan tunda kuliah melalui email sesuai dengan arahan admin departemen. Sayangnya, email tersebut tak kunjung mendapat balasan. Saya, yang masih belum tahu akan kuliah dengan dana apa nantinya juga tak begitu menghiraukan email tersebut. Yang ada dalam pikiran saya, "Yang penting sudah terkirim."

Juli-Desember 2022

Tidak ada pergerakan sama sekali, disamping masih cari-cari info mengenai beasiswa saya pun makin sibuk bekerja. Ingin rasanya coba bimbel Bahasa Inggris lagi, tapi dalam hati ada keraguan "kalau scorenya nggak nyampek lagi gimana?"

Januari-Februari 2023

Bulan Januari, saya hanya ingin punya pekerjaan dengan gaji yang lebih baik. Jika ditakdirkan tetap di perusahaan ini, saya berharap posisi yang berbeda dengan penawaran yang lebih oke.

Takdir Allah berkata lain. Di penghujung Februari 2023, saya dan beberapa teman satu angkatan memenuhi undangan pernikahan salah satu sahabat kami di Magetan. Singkat cerita, obrolan kami di mobil saat perjalanan pulang dari Magetan-Jogja semakin dalam. Tiba-tiba secara spontan kami membicarakan masa depan yang salah satu sub bab nya adalah lanjut studi. "Iya nih, Mbak Fina nih harusnya S2... Mbak kamu nggak mau S2 po?" tanya salah satu di antara kami. "Ho o mbak, jarene arep S2 mbak.." timpal yang lain. arrghh makin pusing wkwk

Bukan tidak mau, sedang proses tapi masih buntu aja ketika itu. Memang perjalanan menuju studi magister ini tidak saya publish, inginnya diam-diam tiba-tiba sudah S2. Ternyata memang harus sedikit dibagi ceritanya. Saya tanggapi dengan sabar, "Aku udah ada LoA gaes, tapi score TOEFL-ku masih kurang buat daftar beasiswa LPDP. Ada nggak sih beasiswa yang score TOEFL nya nggak harus 500?"

"Adaa," kata salah seorang. Azis namanya, saat itu dia sedang kuliah S2 dengan beasiswa LPDP. Tentu infonya banyak, karena relasinya juga sudah semakin banyak. "Oya, apa?". "Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI)" jawabnya. "Emang iya?" saya bertanya kurang yakin karena asing mendengar nama beasiswa tersebut. "Iyaa," Azis meyakinkan. "Ya udah, tolong infonya ya Jis nanti.." saya pikir tak ada salahnya coba cari tahu.

Lanjut part 2 ya temen-temen..

https://alfina27ada.blogspot.com/2024/01/jalanan-ini-terjal-ya-part-2.html

ini adalah orang-orang yang bertanya di mobil ketika itu.. maacih atas pertanyaannya
Pasukan kondangan Magetan


Gambar hanya pemanis, intinya walaupun kerja itu berat tapi tetep happy kiyowo punya relasi hebat dalam foto-foto di bawah ini





Minggu, 01 Agustus 2021

Bertumbuh



 

Hello everyone,

Setiap saya memulai deretan huruf-huruf di blog ini, tak ada hal lain yang ada di benak saya selain syukur. Walau, saya tahu tulisan terakhir sebelum ini sudah berusia lebih dari satu tahun. Saat itu, saat di mana pandemi masih bermula. Mungkin sekitar usia tiga bulan. Tak disangka juga, kali ini saya masih diberi kesempatan untuk menulis dan masih dalam masa pandemi.


Ada banyak hal yang terlewat yang belum saya tuangkan. Sebagaimana orientasi blog ini adalah untuk berbagi inspirasi dan bukan hanya untuk curhat belaka. Ada hal-hal bermakna di setiap kejadian, mungkin itulah yang ingin saya sampaikan.


Kali ini, saya ingin menyampaikan bahwa blog ini telah ditata ulang. Tidak, saya tidak menghapus kontennya. Hanya saja, beberapa hal yang masih terkesan kanak-kanak dan bahasa yang kurang enak dibaca sedikit banyak telah saya ubah. Akan tetapi postingan lama dengan bahasa yang demikian kanak-kanak masih saya biarkan begitu saja. Saya tak ingin menghapusnya. Biarkan itu menjadi bukti bahwa saya pernah menjadi anak-anak. Biarkan itu menjadi bukti bahawa bahasa seseorang juga bertumbuh seiring bertambahnya usia. Saya harap blog ini juga tetap bertumbuh beriringan dengan saya yang juga semakin menua.


Saya tidak ingin menjanjikan apa-apa, tapi yang saya ingin adalah menebar kebaikan melalui tulisan dalam blog ini. Dengan pembaharuan yang saya lakukan terhadap design blog ini, saya juga memperbaharui niat saya, tujuan saya, dan juga akan saya gunakan untuk apa blog ini. Ada beberapa list hikmah yang saya miliki untuk dibagikan. Semoga dalam waktu dekat ini bisa saya tulis dan saya bagikan ke teman-teman semua.


Akhir kata untuk postingan ini, harapan saya, harapan kamu, harapan kita semua tentunya semoga bumi ini lekas membaik.. Semoga pandemi ini lekas berakhir..


Sincerely,

Alfina R. A.

Minggu, 26 April 2020

Belajar Menjadi Wanita dari Seorang Ibu Malikah



Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu

Wah, tidak terasa ya teman-teman postingan terakhir blog ini sudah hampir setahun yang lalu. Rasanya malu sekali. Jarang bersih-bersih dan menghias rumah ini. Insya Allah nanti akan ada renovasi besar-besaran. Geli juga rasanya melihat cover blog yang usianya sudah delapan tahun lebih itu hehe.

Baiklah pada kesempatan kali ini, kesempatan perdana di tahun 2020 izinkan saya untuk mempublikasikan sebuah resensi buku. FYI ini juga masih resensi ke-tiga yang pernah saya publikasikan di blog ini. Kalau ada yang masih ingat, resensi terakhir sebelum ini adalah buku yang ditulis oleh kakak kelas di pondok yang berjudul “Kado Dari Kairo”. Nah, kali ini saya ingin meresensi sebuah buku yang ditulis oleh kakak tingkat saya di UGM. Entah kenapa kakak-kakak ini sangat produktif, sedangkan saya masih bertanya pada diri sendiri. Kapan buku saya diresensi orang? Nantikan aja pokoknya, haha.

Yuk, langsung aja kita masuk ke resensinya ya...



Belajar Menjadi Wanita dari Seorang Ibu Malikah



Judul Buku                   : Malikah, Keteguhan Jiwa Sang Ibu Nyai Janda

Penulis                         : Mohammad Nizar

Editor                           : 4 Bidadari

Cetakan Pertama          : Maret 2019

Penerbit                       : Al Rosyid Publishing, Media and Creative. Bojonegoro

Jumlah Halaman           : 182 halaman

Novel ini bercerita tentang lika-liku kehidupan seorang wanita. Ia lahir sebagai anak bungsu dari sebuah keluarga yang terhormat. Beliau bernama Ibu Malikah, figur seorang Ibu Nyai yang merupakan influencer bagi para santrinya. Novel ini diangkat dari kisah nyata, namun saya kurang tahu apakah tokoh-tokoh di dalam novel ini menggunakan nama asli atau tidak. Selayaknya wanita yang hidup pada awal abad ke-20, beliau sangat menjunjung tinggi sopan santun tidak pernah menolak perintah orang tua selama itu baik baginya. Menjadi wanita yang seutuhnya, menjaga kehormatannya sebagai wanita hingga tiba waktnya dijodohkan oleh ibunya.

Sayang, sedih sekali dan saya juga terheran-heran bacanya. Secepat mempelai laki-laki mengucap ijab qabul, secepat itu pula surat perceraian dilayangkan. Resmi sudah Ibu Malikah yang masih berusia 18 ketika itu sudah harus menjadi janda. Tak lama setelah beliau menjanda kesedihannya bertambah dengan meninggalnya ibu tercinta. Lalu sang ayah menikah lagi. Ibu Malikah tetap menghormati ibu tirinya. Dan ibu tirinya inilah yang menikahkan beliau lagi.

Ibu Malikah dinikahkan oleh seorang duda juga yang bernama Mas Masyhur. Karena masih muda panggilannya pun juga harus muda yaitu dengan sebutan “Mas”. Mas Masyhur dikisahkan sebagai seseorang yang selalu disibukkan dengan kegiatan yang berlatar belakang kepentingan umat. Seperti pembangunan masjid untuk masyarakat dan juga mengajar ngaji. Oleh karena itu harta beliau berdua selain digunakan untuk nafkah keluarga juga disisihkan untuk pembangunan masjid.

Seiring bertambahnya keturunan, panggilan pun berubah menjadi “Pak” atau lengkapnya “Bapak”. Tanpa disangka-sangka suatu ketika, murid-murid mengaji Pak Masyhur datang ke rumah beliau dan minta agar bisa tinggal bersama keluarga Pak Masyhur. Ya rata-rata memang beginilah cikal bakal berdirinya sebuah pesantren. Sama persis dengan yang pernah saya pelajari dalam pelajaran kepondokmodernan beberapa tahun silam. Awal mula Pak Masyhur masih menolak dengan penuh pertimbangan. Namun karena murid-murid terus meminta maka Pak Masyhur akhirnya meng-iyakan.

Pesantren terbentuk, murid-murid bertambah banyak perjuanganpun harus lebih keras. Sampai suatu ketika untuk membantu pesantren Ibu Malikah merelakan semua perhiasannya. Mungkin bagi wanita ini adalah hal yang cukup berat yang harus dilakukan. Tapi Ibu Malikah tetap ikhlas, dalam hidupnya kini yang terpenting anak-anak tetap bisa tinggal di pesantren dan tetap mengaji.

“Pak, kalau misal semua perhiasan yang kupunya juga dijual bagaimana? Hasilnya untuk pembangunan pondok sekalian.”

“Apa benar tidak apa-apa? Bukankah wanita itu suka memiliki perhiasan? Itu milikmu, semuanya tergantung kamu,” jawab Pak Masyhur.

“Iya Pak, tidak apa-apa, yang penting pondok berjalan dahulu. Masalah perhiasan gampang, besok-besok bisa beli lagi.” Halaman 31-32.

Membaca percakapan ini, saya sebagai seorang wanita pun tertegun dan berbisik dalam hati, "Wow.”

Perjuangan yang romantis, saling bantu saling membahu. Berjuang bersama memang seru. Seberat apa pun lika-liku setajam apa pun tikungan yang dilewati, asalkan berdua bukankah pegangannya akan semakin erat dan rasanya semakin menyenangkan?

Tapi berjuang berdua ini memang tidak bisa selamanya. Garis takdir kematian tidak ada yang tahu. Bisa jadi bersama bisa jadi tidak. Kisah berjuang berdua antara Pak Masyhur dan Ibu Malikah harus berakhir. Pak Masyhur meninggal dunia saat anak ke-delapannya masih berusia 40 hari.

Tidak perlu ditanya lagi, Ibu Malikah sangat sedih ditinggal oleh cintanya. Ditambah berpikir beban yang akan dipikulnya sendirian. Membesarkan ke-delapan anak dan meneruskan pesntren sedirian bukanlah hal ringan dilakukan oleh seorang wanita. Namun, Ibu Malikah tetap tegar hingga mampu mendidik ke-delapan anaknya dengan baik, hingga mampu melestarikan pesantren sampai detik ini.

Ibu Malikah tidak menikah lagi. Tentu, alasannya adalah cinta.

“Kalau soal yang menawari untuk menikah lagi itu ada. Aku pernah ditawari untuk menikah lagi dengan seorang pejabat, seorang yang memiliki kedudukan, dan tentunya juga cukup dalam urusan perekonomian. Untuk membantu kehidupan dan pesantren, tentu hal ini akan memudahkan. Tapi tidak, biarkan begini saja, aku akan mempertahankan bahtera cinta ini bagaimana pun juga, walaupun berjuang seorang diri saja. Biarkan aku menjadi orang yang setia disaat sudah memiliki cinta.” Halaman 65.

Ingin tahu perjuangan Ibu Malikah dalam mebesarkan ke-delapan anaknya dan melestarikan pesantren sendirian? Boleh banget dibaca bukunya teman-teman. Saya jamin kamu nggak akan rugi baca buku ini. Apalagi jika kamu adalah seorang wanita, sosok Ibu Malikah sangat pantas dijadikan contoh. Dalam ibadah, kemandirian, tanggungjawab, perjuangan, keteguhan, dan yang paling penting adalah tarbiyah anak-anak. Ya, seorang ibu harus dapat mendidik anak-anaknya agar menjadi generasi yang solih-solihah, apalagi tanggungan Ibu Malikah sebagai Bu Nyai harus dapat menjadikan ke-delapan anaknya kader umat.

Saya rasa dari sisi konten, buku ini tidak ada yang perlu dikritisi. Bahasa yang puitis menambah indah proses pemahaman terhadap alur cerita novel ini. Bahkan, buku ini berani saya rekomendasikan untuk dibaca adik-adik saya. Ada beberapa novel di rumah yang bisa saya katakan ghoiru tarbawi artinya tidak mendidik atau sama sekali tidak mengandung unsur pendidikan. Maka novel itu tidak akan saya izinkan dibaca oleh adik-adik.

Namun, ada beberapa kekurangan dari sisi lay-out dan editorial. Paragraf yang tidak rata kanan-kiri, juga awal paragraf yang tidak menjorok ke-dalam mungkin akan sangat mengganggu pandangan bagi pembaca yang suka rapi-rapi. Juga masih ada beberapa pemakaian huruf kapital dan pelatakan tanda baca yang menurut EYD kurang tepat. Kemudian buku ini juga belum dilengkapi dengan nomor ISBN.

Tentu saja, saya berharap semoga masih ada umur panjang dan dapat mebaca karya-karya selanjutnya dari kakak tingkat saya ini.

Akhirnya saya harus menutup resensi ini dengan sebuah puisi yang hanya bisa saya kutip. Terima kasih dan sampai jumpa di postingan berikutnya.


Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.



Lewat apa kusampaikan rasa?



Kata?

Tak akan dilihat



Suara?

Tak akan didengar



Mata?

Tak akan sampai



Sepertinya, satu-satunya

adalah doa.



Halaman 178

Selasa, 02 Juli 2019

Prau 2565 mdpl


Assalamu’alaikum wr wb



Alhamdulillah... Ujian Akhir Semester di kampus sudah selesai. Tepatnya pada tanggal 27 Juni 2019. Lega sekali rasanya telah menyelesaikan ujian pada semester ini. Ya walaupun nilainya masih belum diketahui. Semoga nilainya baik-baik saja.

Satu semester yang penuh dengan tugas dan ujian tentu membuat kepala penat dan rasanya ingin ditumpahkan. Ditambah lagi dengan masalah-masalah hidup lainnya. STOP! Saya sedang tidak ingin cerita itu.

Untuk sedikit mengurangi atau sekedar melupakan beban hidup sejenak, saya dan ketiga teman saya berencana untuk muncak ke Gunung Prau. Awalnya kami ingin ke Ijen, tapi karena jarak yang jauh dan persiapan yang singkat jadi salah satu teman kami mengusulkan untuk ke Wonosobo saja.



Jum’at, 28 Juni 2019

Tak disangka waktu yang ditunggu-tunggu tiba juga. Jum’at pagi itu saya sangat bersemangat untuk mengemas barang-barang. Karena jalur paling enak yang dapat dilalui dari Jogja adalah jalur Moyudan-Kalibawang-Borobudur-Wonosobo-Dieng, jadi titik kumpul kami di rumah saya yang letaknya di Jl. Wates km 11.

Rencana kami berangkat pukul 11.00 WIB, saya sudah siap dengan semua bawaan saya namun teman-teman saya tak kunjung datang. Mereke baru tiba di rumah saat adzan dzuhur berkumandang. Akhirnya, kami putuskan untuk menunggu Jum’atan di masjid selesai dan sholat dzuhur terlebih dahulu.

Kami lepas landas dari rumah pukul 13.20. Saya bahagia sekali bisa diizinkan berangkat rihlah ini. Karena biasanya Bapak dan Mamah saya agak sulit memberi izin kalau untuk main-main. Entah kenapa yang kali ini sangat mudah. Sepertinya saya tahu sebabnya, tapi saya tidak bisa cerita, dan saya juga tidak ingin memastikannya ke Bapak dan Mamah.

Di jalan, saya sangat excited dengan pemandangan sawah yang sangat luas. Sejauh mata memandang hanya ada sawah dan pegunungan, jalannya pun halus dan beraspal. Jalanan seperti ini jarang saya temui, biasanya kalau ke kampus ya gitu-gitu aja jalannya malahan seringnya macet. Sepanjang jalan Sedayu sampai perbatasan Jogja-Magelang hanya ada dua lampu merah yang kami temui. Bertemu lampu merah lagi ketika sudah sampai di Borobudur.

Jalan pegunungan di Kalibawang masih bisa dikategorikan landai. Memang naik turun tapi masih landai, masih biasa aja. Nah, ketika tiba di Wonosobo baru jalanannya naik-turun dan bisa dibilang cukup curam. Sudah turun pasti naik, belum yang naik sambil berbelok. Ditambah dengan motor saya yang motor gigi, karakter motor gigi pastinya kalau naik memang nggak bisa pelan harus kenceng dari awal. Kalau pelan-pelan malah bisa berhenti di tengah. Kan serem, apalagi saya bawa temen saya di belakang.

Jogja-Wonosobo akhirnya dapat kami lalui dengan satu kali istirahat dan satu kali sholat.  Pukul 17 lebih sekian kami tiba di Dieng dan memasuki gerbang yang bertulisakn “Selamat Datang di Dieng Plateu”. Biasanya yang sering saya kunjungi selama ini adalah Siwa Plateu. Bedanya, Siwa Plateu itu adanya di Prambanan kali ini saya ada di Dieng.. Yeee.

Kami mulai naik menembus kabut eh kabut atau awan yaa.. suhu dingin mulai menusuk tubuh. Tanjakan di Dieng memang curam dan panjang. Jadi harus hati-hati. Yang paling mengesankan adalah di tengah-tengah perjalanan kami, ketika menengok ke sisi kanan Allah telah menyuguhkan pemandangan yang begitu indah. Yaitu pemandangan Gunung Sundoro yang memantulkan sinar matahari senja dengan awan menggantung di lehernya.






Itu beberapa foto yang sempat kami ambil dari pinggir jalan. Indah sekali kan? Subhanallah, kami benar-benar merasa beruntung bisa mendapati pemandangan seindah ini. Karena nggak setiap sore lho pemandangannya bisa sindah ini.
Setelah puas mengambil foto, kami melanjutkan perjalanan menuuju basecamp Tapak Banteng di Dieng. Kami tiba di basecamp tepat saat adzan maghrib berkumandang. Kami segera parkir motor, registrasi, titip helm, sewa tenda dan sleeping bag, lalu istirahat sebentar untuk sholat. Suhu di Dieng saat itu sudah 15 derajat celcius. Dingin.
Kami naik ke Prau setelah sholat isya’, dengan harapan pukul 22 bisa sampai puncak. Tapi kenyataannya??? Hahaha.
Jalanan menuju POS 1 memang sangat menanjak menurut saya. Jadi model medannya tangga dengan kemiringan yang bisa dibilang hampir 90 derajat. Ini yang membuat nafas saya sangat-sangat tersengal di awal. Hingga saya tak mampu lagi membawa tas yang berisi botol aqua 1,5 liter dua buah. Hwuaaa.. dan akhirnya saya bertukar tas dengan teman saya. Padahal tubuh teman saya ini lebih kecil dari saya. Oke, kalian boleh tertawa di bagian sini.
Akhirnya kami berhenti untuk istirahat di sebuah pelataran rumah. Kemudian melaanjutkan perjalanan lagi. Entah kenapa perjalanan itu terasa begitu berat dan lama. Saya dan dua teman lain yang sama sekali belum pernah muncak di Prau selalu bertanya-tanya, “Pos 1-nya mana?” kemudian teman saya yang sudah berpengalaman selalu bilang, “Bentar lagi kok.” Walau pun kenyataannya pahit, karena masih jauh. Begitupun sama jawabannya ketika kami bertanya, “Pos 2-nya mana???”, atau “Pos 3-nya mana???”, juga “Puncaknya manaa???”
Kami selalu bertanya dengan rengekan-rengekan itu karena kelelahan. Sampai saya pun juga sebenarnya bertanya-tanya dalam hati, “Kok nggak sampai-sampai sihhh??” Karena malam, jadi jalanan memang tak terlihat. Sudah tak terlihat, terus naik dan terus menguras tenaga. Tapi teman saya selalu memberi kami semangat, “Itu lho udah kedengeran suara banyak orang, berarti udah mau sampai puncak.” Sabar banget pokoknya temen saya yang satu ini.
Medan pendakian Gunung Prau memang selalu dipenuhi banyak orang. Namun malam itu tak begitu ramai, tapi ya ada hanya nggak sampai macet gitu. Yang membuat menguras tenaga memang trek nya selalu menanjak, ya namanya juga naik gunung ya pasti menanjak. Maksudnya, nggak ada yang landai gitu. Ada bagian yang landai, tapi hanya sekitar 50 meter entah ada atau tidak, itu berada di antara pos 1 dan 2.
Setelah kami melewati perjalanan malam yang begitu panjang dan melelahkan serta seakan tak sampai-sampai akhirnya kami tiba juga di puncak. Alhamdulillah, kami tidak menyangka kalau kami bisa sampai di puncak Prau 2.565 mdpl. Saya sangat terharu. Ternyata, menuju puncak memang tak mudah. Menuju puncak apa pun.
Kami tiba di puncak sekitar pukul 23.30. HP kami sudah tak mendapatkan sinyal di sana. Kami segera membangun tenda yang sudah kami sewa setelah mendapatkan tempat, biasanya sih kalau dalam perkemahan Pramuka bilangnya tapak kemah wkwkwk. Sebelum tidur, karena lapar akhirnya kami memasak mie instant terlebih dahulu. Suhu sudah menunjukkan angka 10 derajat celcius. Kami segera menyiapkan sleeping bag untuk tidur. Tapi setelah masuk sleeping bag, saya tak merasakan perbedaan suhu yang signifikan. Bahkan, kaki dan tangan saya masih tetap kedinginan walaupun sudah pakai sarung tangan dan kaos kaki.

Sabtu, 29 Juni 2019
Saya menggigil, dan pada pukul 03.00 saya putuskan untuk lebih baik keluar tenda dan masak-masak. Merebus air untuk membuat energen dan coklat. Lumayan, agak sedikit lebih hangat. Kemudian masuk tenda lagi untuk meminumnya bersama teman-teman. Teman-teman saya ikut terbangun melihat saya membawa minuman yang hangat-hangat. Kami terjaga hingga pukul 04.00 sebelum akhirnya tidur lagi sampai waktu subuh tiba. Hingga pada akhirnya yang kami nanti-nanti, yang kami perjuangkan dari lelahnya pendakian ini tiba juga. Sunrise!!!!
Semburat kemerah-merahan memanjang dari utara ke selatan. Ya Allah.. indah sekali.. seluruh camp mulai ribut dengan hal ini. Kami semua keluar tenda dan memburu foto-foto sunrise tersebut.
Setelah, matahari mulai meninggi dan penampakan banyak gunung mulai terlihat kami pun tak ketinggalan mengabadikan momen berharga ini.










Ini adalah kami berempat; Khazima, Alfina, Devi, dan Timit



Gimana? Bagus-bagus kan view-nya? Semoga temen-temen terinspirasi untuk ke sana yaa.. pokoknya bener-bener wonderful Indonesia.

Kami turun dari puncak sekitar pukul 09.00 dan sampai di bawah saat adzan dzuhur berkumandang. Saat turun, kami baru sadar ternyata, masya Allah inilah trek yang semalam kami lalui. Saat turun yang saya takutkan adalah terpeleset dan menggelinding ke bawah. Jadi saya turun dengan sangat hati-hati. Karena menahan badan dan rasa takut serta khawatir lama kelamaan kaki saya pun bergetar. Inilah yang dinamakan dengan tremor. Saat hampir tiba di pos 1 ada warung yang menjajakan semangka, pisang, gorengan, arem-arem, dan alhamdulillah ada toiletnya. Kami pun mampir di situ untuk ke toilet dan sarapan. Saat memegang tahu goreng tangan saya masih bergetar sendiri. Tidak apa-apa, hanya perlu melanjutkan perjalanan dengan pelan-pelan.

Sayangnya, sepatu yang saya gunakan bukanlah sepatu gunung. Meskipun sepatu saya tergolong masih baru, baru sekitar 3 bulan saya beli tapi karena memang bukan sepatu gunung jadi agak licin apalagi digunakan untuk turun gunung. Beberapa kali saya terpeleset. Yang paling parah adalah ketika terpeleset di ladang kentang. Pagi itu ladang kentangnya sedang di siram, jadi tanahnya basah dan licin, jaket saya pun kotor oleh tanah basah karena terpeleset.

Yang paling membuat saya terkesan dari pendakian ini adalah kami bertemu dengan para keluarga pendaki. Saya heran, anak kecil usia sekitar empat tahun sudah diajak mendaki oleh bapak-ibunya. Bahkan mereka bertiga lebih cepat sampainya dari pada kami. Ada juga, satu keluarga dibawa mendaki semua. Ada ayah, ibu dan ke-empat anaknya, yang paling besar anaknya usia SMP kelas 2, sedangkan yang paling kecil usia 1,5 tahun. Luar biasa ya.. luar biasa Ayah Bundanya mengajak anak-anak memahami agungnya ciptaan Allah dengan susah payah membawa mereka dalam sebuah pendakian.

Dan saya juga terkesan oleh Ayah dan anak perempuan pertamanya. Anaknya cantik. Sepertinya memang sudah biasa naik gunung bersama sang ayah. So sweet sekali. Ada juga anak laki-laki dan ayahnya. Sepertinya dari kecil memang sudah dididik untuk suka berpetualang naik gunung. Inspiratif.

Sepertinya tidak perlu sampai pulang saya ceritakan ya.. kalau ada yang ingin tahu cerita pulangnya boleh bertanya via comment atau DM Instagram juga tidak maslah. Tapi saya rasa intinya sudah yang ada di atas aja sih.. Semoga bermanfaat.



Wassalamu’alaikum wr wb

Sincerely,

Alfina R. A