Penulis : Darwis Tere Liye
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Jumlah Halaman: 256/264
ISBN : 978-979-22-5780-9
Selama ini Tere Liye selalu memikat pembacanya dengan mengisahkan kisah kanak-kanak yang polos namun dalam. Dan dengan polos juga ia membuat pembacanya tak sadar menitikkan air mata. Seperti pada novel-novel sebelumnya, yaitu "Hafalan Shalat Delisa" dan "Moga Bunda Disayang Allah", dua novel ini fokus pada penceritaan kanak-kanak. Namun, novelnya yang satu ini berbeda karena novel ini bukan hanya bercerita tentang masa kanak-kanak tapi juga bercerita tentang masa remaja tokoh. Ini membuat novel Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin terkesan jadi novel teenlit.
"Daun yang Jatuh Tak Pernah membenci Angin", judul yang diambil dari kalimat anonymus: The falling leaf doesn't hate the wind, yang dipopulerkan dalam film Jepang Zatoichi. Dari judulnya pembaca sudah diajak untuk menerka-nerka maksudnya.
"Biarlah... Biarlah aku luruh ke bumi seperti sehelai daun... daun yang tidak pernah membenci angin meski harus terenggutkan dari tangkai pohonnya."
Judul dan kalimat di atas hanya ingin mewakili satu kata, yaitu "ikhlas". Ikhlas dalam hal apa? Tentu saja ikhlas dalam menerima kenyataan hidup. Sepahit apa pun.
Dari 254 halaman, novel ini secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama atau sepertiga awal adalah bagian yang sedih dan merana. Bagian tengah atau sepertiga kedua adalah masa-masa senang. Bagian ketiga yaitu sepertiga menuju ending adalah bagian sedih (lagi). Suasana ending novel ini tergantung dari pembaca menyikapi suguhan cerita ini. Setiap pembaca akan punya presepsi yang berbeda.
Tania adalah seorang gadis yang beperan sebagai tokoh utama dalam novel ini. Bagian pertama novel mengisahkan masa kanak-kanak Tania yang habis dimakan garangnya jalanan. Setelah kepergian sang ayah dan ibu yang mulai sakit-sakitan, Tania dan Dede adiknya mencari uang dengan mengamen.Sampai suatu ketika kaki Tania tertusuk paku payung yang entah mengapa bisa berada di lantai bus tempatnya dan adiknya mengamen malam-malam.
Seorang pemuda bernama Danar, salah satu penumpang bus tak tega melihatnya. Danar membungkus kaki Tania dengan sapu tangan yang ia punya. Sejak itulah Danar dengan keluarga Tania mulai akrab berhubungan. Danar adalah laki-laki yang baik, setelah tau latar belakang Tania ia tak segan membantu. Mulai dari membelikan sepatu, tas, buku-buku pelajaran dan bacaan, sampai sekolah Tania dan adiknya pun Danar yang bayar.
Sepertiga pertama bagian novel ini makin terasa merana dengan kematian ibu Tania. Berawal saat ibu Tania dirawat di rumah sakit, peran Danar terhadap Tania dan Dede makin terasa. Itu membuat Tania mengenal perasaan "itu" untuk pertama kalinya. Ditambah lagi, setelah ibu tiada, kini Tania dan Dede tinggal bersama Danar.
"Berjanjilah,Nak... Ini akan jadi tangismu yang terakhir pula..." gemetar tangan ibu membelai jemariku.
"Kau tak boleh menangis demi siapapun mulai detik ini... kau tak boleh menangis bahkan demi adikmu sekalipun..."
Aku mengangguk.
"Kecuali, kecuali demi dia... Kecuali demi dia..." Ibu menatapku amat lemah sambil tersenyum ganjil untuk terakhir kalinya.
Bagian sepertiga ke-dua dari novel ini berkisah tentang masa-masa remaja Tania. Tania adalah gadis yang cerdas. SD nya akselerasi, SMP nya dapat beasiswa di Singapura, begitu pun SMA nya. Semasa di Singapura, Tania berhubungan dengan Danar dan Dede melalui chating.
Ini adalah masa-masa manis Tania. Terutama di sweet seventeen-nya. Danar sengaja datang ke Singapura untuk merayakan ulang tahun ke-17 Tania. Danar menghadiahi liontin pada Tania. Tania mengira liontin itu istimewa. Tapi Dede bilang itu tidak istimewa karena Danar juga memberi Dede dan Ibu liontin yang sama. Danar juga punya, jadi mereka berempat punya liontin yang sama. Tapi, di akhir cerita dijelaskan bahwa liontin Danar dan Tania tidak biasa, liontin mereka berdua itu istimewa.
Seperiga terakhir adalah bagian di mana Tania harus patah hati dengan keputusan Danar yang akan menikahi Kak Ratna, pacarnya sejak Tania masih kepang dua. Untuk minta restu kepada Tania pun Danar dan Ratna sengaja datang ke Singapura. Pernikahan memang berlangsung di Indonesia, Tania tak mau datang.
Pernikahan Danar dan Ratna langgeng-langgeng saja di awal. Tapi lama-kelamaan pernikahan itu diterpa badai juga. Sikap Danar yang semakin dingin kepada Ratna, membuat Ratna tak nyaman tinggal bersamanya. Bahkan hal ini membuat Ratna kembali pada orang tuanya.
Mendengar rumah tangga orang yang ia cinta dan ia anggap sebagai malaikat juga kakaknya retak, Tania tidak tinggal diam. Ia pulang ke Indonesia diam-diam.
Kini Tania tahu bahwa Danar mencintainya. Sayang sekali, semua terungkap ketika Danar sudah menikah dan istrinya hamil 4 bulan pula. Tidak dijelaskan selanjutnya bagaimana sikap Danar. Tapi, dengan sifat-sifat Danar yang diutarakan penulis dalam novelnya tak mungkin jika Danar meninggalkan Ratna.
Andai semua terungkap sebelum danar menikah, pasti happy ending. Ah, tapi ending ini tergantung dari kita menyikapi ceritanya. Kebanyakan remaja menganggap ending dari cerita ini menggalaukan. Mereka sebal dengan Danar, remaja inginnya Danar dan Tania bersatu walau usia mereka berbeda cukup jauh dan kurang ideal untuk menjadi sepasang kekasih. Bagi kebanyakan orang dewasa ending yang seperti ini adalah ending yang diharapkan. Sebab, Danar adalah laki-laki yang tidak punya prinsip alias plin-plan dan Tania akan mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari Danar.
Inti dari novel ini adalah: Orang yang usianya beda jauh tak akan bisa jadi sepasang kekasih. Ops! Novel ini juga mengajarkan kita untuk ikhlas menerima segalanya, Tuhan punya rencana. Semangat untuk berubah dan diri Tania yang kuat patut diteladani oleh remaja. Namun di sini, melalui ucapan tokoh, tokoh terkesan sombong. So, jangan ditiru!!!
Sedayu, 29 April 2012, 21:38
Tidak ada komentar:
Posting Komentar