Dari balik jendela kamarku nampak matahari tersipu penuh malu. Menyibak hawa dingin pagi bawaan musim kemarau tahun ini yang setia menyelimuti. Tak jarang bulu kudukku berdiri di sela gigil tubuh kurus ini, brrr!!!
“Haaachim, chim, chim !!” perbedaan suhu yang begitu extrim membuat daya tahan tubuhku melemah. Sebetulnya hari ini aku ingin beristirahat di rumah. Namun apa daya, aku harus menyelesaikan ujian terakhirku. “Elfa, cepetan turun ! Bunda udah siapin sarapan nih,” teriak bunda memanggilku. “Ya, Bunda. Elfa turun,” kataku sembari memanggul tas hitam kesayangnku.
Pagi ini aku tak selera makan. Semua makanan terasa hambar di mulutku. Aku hanya menghabiskan setengah dari porsi bisaanya. Selesai makan, akupun berangkat sekolah bersama CRV-ku yang setia setiap saat seperti Rexona.
Tepat pukul 17.30 ujian usai. Bel berbunyi, aku melangkah gontai meninggalkan ruang ujian. Bukan tenang atau euphoria yang kurasa. Justru kekhawatiran terhadap NEM yanga kan aku peroleh nantinya. Dan aku pulang dengan hati yang dag dig dug.
Saat melangkah menuju parkiran aku tenggelam dalam lamunan sembari memandang kelu lantai koridor sekolah. Pikiranku melayang kemana-mana. Gelisah tak terarah. Dan tiba-tiba…. “Gubrakkk !!”
“Ouch, sory…” pekikku pelan. Tanpa sadar rupanya aku menabrak seorang gadis yang berjalan tergesa dari arah berlawanan. Kami jatuh tersungkur. Buku yang dia bawa tumpah ruah berceceran. Tanpa ba bi bu dengan cekatan ia memungut bukunya yang berserakan di sana-sini. Belum sempat aku membantu tapi ia sudah selesai merapikan semuabukunya. Sesaat kemudian ia kelabakan meraba-raba saku seragamnya. Aku rasa ada barangnya yang hilang.
“Kenapa ? barang kamu ada yang ilang ?” tanyaku. Tapi ia hanya tersenyum. Tak lama kemudian ia melempar pandangan ke seluruh penjuru koridor . dan setengah merangkak ia menuju parit kecil depan koridor. Menerawang jauh kedalam air. Dengan raut yang menunjukkan rasa sungkan ia menyingsingkan lengan tangan kanan seragam panjangnya sembari menggenggam kecil ujung jilbab putih yang ia kenakan. Lalu ia merogoh pelan menuju dasar parit. Terkejut aku melihat barang yang diambilnya, iphone 3G yang basah kuyup.
“Aduh, maafin aku ya… Gara-gara aku HP kamu jadi basah. Rusak nggak ?” tanyaku khawatir. Tapi lagi-lagi ia hanya tersenyum manis, manis sekali. Tak ada raut marah di wajahnya. Padahak HP nya basah kuyup dan mungkin rusak parah gara-gara tabrakan tadi. Berkali-kali ia coba menyalakan HP-nya. “Bagaimana ? bisa nyala ?” Tanyaku. Berharap bisa namun ia menggeleng kepala.
“Maaf ya… aku janji deh bakal ganti HP kamu,” kataku. Dan lagi, ia hanya tersenyum sambil menggeleng kepala pertanda menolak tawaranku. “bener nih aku nggak usah ganti ? aku nggak enak banget sama kamu,” rayuku. Tanggapanya hanya gelengan kepala dan senyuman yang seakan tak pernah habis. Lalu ia memeluk bukunya yang telah rapid an bergegas pergi.
Akupun bangkit dan melanjutkan langkah menuju parkiran. Dan, ah aku lupa bertanya siapa nama gadis itu. Ketika aku membalikkan badan ia sudah menghilang diantara hiruk-pikuk siswa lainnya. Cepat sekali dia berjalan.
Kebetulan anak-anak kelas IPA?XII-E yang menjadi saksi tabrakanku dengan gadis tadi masih duduk-duduk di dekat TKP. Ku tanyakan pada mereka, “Eh, misi. Ada yang tahu nggak siapa nama cewek yang gue tabrak tadi ?” salah satu dari mereka menjawab, “Oh, Fana maksud loe?” akupun balik bertanya, “Jadi nama dia Fana? Anak kelas mana dia ?” “Anak IPA/XII-B”, jawabnya singkat. “Oya ? tapi gue nggak pernah liat tu anak sebelumnya ? padahal gue anak IPA/XII-A,” gumamku. “Ya iyalah secara dia pindahan dari Jogja. Baru dua bulan ini dia sekolah di Jakarta. Kenape ? Naksir loe ?” pertanyaan yang membuatku kaget. “Ah, apaan sih loe. Ada-ada aja. Thanks ya, gue cabut dulu,” kataku menutup obrolan.
Ku akui Fana memang cantik. Matanya bulat dan berbinar menunjukkan kecerdasannya. Bibirnya tipis dan itu membuat senyumnya semakin manis dan kalem menurutku. Dan ia tampak anggun dengan jilbab yang menutup aurotnya. Tapi, kenapa dia tidak mau berbicara sepatah katapun padaku ? ah, mungkin dia sedang sakit tenggorokan. Tanpa aku sadari, benih-benih cinta tumbuh dengan sendirinya .
Pukul 12.30 aku tiba dirumah disambut oleh bunda yang telah siap bersama masakannya. Kalau sudah begini aku tak kuasa untuk menolak makan. Setelah itu aku minum obat dan tidur agar keadaanku pulih seperti semula.
Karena ujian telah usai, maka hari-hari berikutnya adalah hari santai. Kami, para siswa SMU Putra Bangsa bebas untuk tidak berangkat sekolah kecuali pada hari yang dianjurkan. Aku menggunakan waktu itu untuk beristirahat total. Meski sakit yang kuderita ini hanya flu, tapi menurutku flu juga sangat menyiksa.
Lima hari sebelum pengumuman kelulusan, bunda mengajakku bersilaturahmi ke rumah Tante Tara. Hari itu aku sudah terbebas dari flu, jadi aku terima ajakan bunda. Kami ngobrol banyak disana, termasuk tentang kelanjutan pendidikanku setelah lulus SMU nanti. Lamaaa sekali bunda ngobrol dengan Tante Tara.
Kami baru pulang ketika langit semakin menampakkan jingga emas senjanya. Mentari telah menyinari 12 jam tanpa henti. Dan kini perlahan tidur, diganti terbangunnya bulan yang samar menampakkan pesona malamnya. Tajam namun manis, senyum sabitnya seakan menyapa dan begitu menggoda.
Semilir angin malam menyibak lembut jambul landakku yang menyusup melalui celah jendela CRV tungganganku. Sengaja jendela ku buka karena rindu dengan aroma angin alami yang khas. Dingin yang mengelus pipiku menyibak pelan rasa lelah sepulang mengantar bunda dari rumah Tante Tara.
Setelah melewati TOL Cikampek, kamipu belok kiri dan mulai memasuki jalanan yang sepi ketika malam. Kanan dan kiri jalan ini dipenuhi tanaman tebu yang lebat, sehingga Nampak gelap dan suram. Pelan namun pasti mobilku melintasi jalan ini.
“Chiiiittt!!!” aku ngerem mendadak. Tampak seorang gadis berjilbab coklat muda ditarik-tarik oleh dua preman berjaket kulit. Tampang mereka seram dengan tubuh yang kekar. Sedang gadis itu meronta tak bisa berbuat apa-apa agara bisa lari dari mereka. Gadis itu hanya menangis, seperti ingin teriak namun tak bisa karena mulutnya diikat dengan slayer kumal sehingga tinggal matanya saja yang terlihat.
“Elfa, kenapa diam saja ? tolongin dia dong !!” perintah bunda “Tapi, Bun….” Aku marayu. “Cepet !! tunggu apa lagi ? kasihan dia…” kata bunda sambil mengoyak pundakku.
Mauy tak mau karena akupun merasa tak tega akhirnya aku buka pintu mobil dan turun. “Hey, ngapain loe ? beraninya sama cewek doing, cemen loe !!” ledekku pada kedua preman itu.
Mereka menoleh kepadaku seraya salah satu dari mereka berkata “Seharusnya gue yang tanya, ngapain loe ikut-ikutan segala anak kecil ? berani, loe ama kite ?”
“Loh ? kenapa gue mesti takut ame loe berdua ? gue Cuma takut ama Tuhan. Lepasin tu cewek !!” kataku.
“Kalo kite kagak mau, terus loe mau ape, hah ? “tanya preman bercelana rantai. “Udah Bang kita habisin aja dia” provokasi preman satunya. “Sip !! masalah kecil.” Dan ia berjalan menujuku.
Sekilas aku pandang gadis itu Nampak berontak menggeleng kepala keras-keras. Entah, aku tak mengerti maksudnya. Mungkin dia setuju jika aku harus berkelahi. Tapi apapun resikonya gadis itu harus selamat dari para preman kampret ini.
“Plokk !! Aggrh !! satu hantaman tinju mendarat dipipiku. Sakit memang, mulutkupun berdarah.
“Bukk!!” satu lagi hantaman perutku. Masih sama. Tak ada kata lain selain sakit. Aku tak menyerah. “Bokk !!” aku balas menendang perut salah satu preman itu.
“Kurang ajar !!” hardik sang preman. Ia raba saku jeans sobek-sobek berantainya. Mengeluarkan benda yang mengkilap sehingga memantulkan cahaya lampu mobilku. Oh tidak !! PISAU !!
“haha, mau ape loe anak ingusan ? masih berani loe ama gue ?” tangan kirinya menarik kerah bajuku sedang tangan kanannya menghunus pisau ke leherku. Satu senti hamper menyentuh kulit leherku.
“Wiuwiuwiu,” akupun bingung siapa yang memanggil polisi ? tapi aku bersyukur, mungkin bunda yang memanggilnya. Alhasil, meskipun mencoba lari preman itu tetap diringkus.
Aku dekati gadis itu, berjalan perlahan ke arahnya yang terduduk menangis sendu. Berjongkok pelan dan berkata, “Maaf, boleh aku buka tali yang mengikat tanganmu ?” dan ia mengangguk. Mungkin dia sedikit risi aku menyentuh-nyentuh tangannya. Sebetulnya ada bunda yang mahram terhadap dia. Tapi bunda tak kunjung turun dari mobil.
Sangat hati-hati aku melepaskan tali itu. Sebisa mungkin aku tak menyentuh kulitnya, tapi itu mustahil. Talipun terlepas, pelan-pelan ia gerakkan tangannya. Melemaskan sendi-sendi yang kaku karena jeratan tambang yang mengikat.
Perlahan, ia raih jilbabnya bagian belakang untuk melepas slayer kumal menjijikkan yang menyekap mulutnya, “Kamu ! kamu yang pernah aku tabrak di koridor dulu itu kan ?” ia mengangguk tersenyum meski bulir masih menetes.
“Terima kasih ya…” katanya dengan suara yang sudah hamper habis” iya, tak perlu berterima kasih. Sudah seharusnya aku menolongmu. Kamu sakit ya ? mau aku antar pulang ?” bujukku. Tapi ia menggeleng.
“Siapa Elfa? Dia temanmu ? kita antar ke rumahnya saja, bahaya lho cewek jalan sendiri malem-malem,” sela bunda diantarakami. “Iya, Bun. Kenalin namanya Fana. Aku udah tawarin dia, Bun. Tapi dia geleng-geleng,” jawabku. “Coba bunda yang bujuk. Kamu tunggu di mobil aja gih !” perintah bunda.
Beberapa saat kemudian, Fana dan bunda bangkit lalu berjalan mendekati mobil. Mereka masuk dan duduk di Jog belakang. “Elfa, bunda duduk belakang ya nemenin Fana,” tutur bunda. “Iya, Bun. Kita kemana nih sekarang ?” tanyaku. “Ya kita pulanglah,” jawab bunda enteng. “Lah, terus Fana gimana ?” tanyaku lagi. “Elfa saying, Fana itu tetangga kita satu komplek,” bunda menjelaskan. “Oh, gitu,” aku melongo bisaa meski dalam hati jingkrak-jingkrak.
“Kamu ini kuper, tetangga baru, temen sendiri, pula, tapi ggak tahu. Fana itu anaknya pak Sulistyo yang dari Jogja itu, yang habis syukuran kemarin itu lho. Sudah, ayo cepetan jalan ! keburu isya” ntar kita bellum sholat maghrib juga khan ?” bunda mengingatkan “Iya iya, Bun, Elfa tahu kok,” sembari sekilas melihat senyum manis Fana dari spion dalam, masih manis seperti saat pertama berjumpa.
“Brrrm”, mobil menyala lamat-lamat lading tebu yang sepi suram mulai berlalu dan bergantiu dengan komplek perumahan kami. Aku dan bunda mengantar Fana yang rumahnya hanya selisih enam rumah dari rumah kami. Pukul 18.45 kami tiba di rumah. Sholat maghrib meski sedikit telat kemudian makan malam dengan masakan bibi.
“Bunda, tadi bunda ngomong apa sama Fana ?” aku membuka percakapan di meja makan itu, “Oh, tadi itu bunda Cuma nanya kenapa Fana bisa ada di situ selebihnya rahasia deh,” terang bunda. “yah, bunda kok gitu sih ? terus apa jawaban dia, Bun ?” lanjutku. “Fana bilang, dia habis ngaji dari perumahan sebelah. Dan karena HP dia rusak dia nggak bisa minta jemput ayahnya. Akhirnya dia pulang sendiri deh.” Jelas bunda santai. “Oh, gitu toh, mesyi – mesyi.” Tanggapku menutupi rasa bersalah.
“Selesai makan aku masuk kamar. Aku bagai dipenjara dalam siksaan batin rasa bersalah. Karena aku HP Fana rusak. Sampai-sampai ia dijahili preman begitu.” Pokoknya, aku harus mengganti HP Fana !!” janjiku dalam hati.
Pagi harinya aku pergi ke mall. Aku cari handphone shop paling berkualitas. Setelah lama mencari, akhirnya ketemu juga. Dengan uangku yang insya Allah cukup, aku membeli HP untuk Fana. Iphone 3G, sama persis dengan dengan punya fana yang dulu.
Pulang dari mall, aku langsung menuju rumah Fana. Namun betapa kecewanya aku, tak kudapati ia disana. Kata bibinya Fana pulang ke Jogja tadi pagi-pagi sekali dan baru akan kembali ke Jakarta pada hari kelulusan nanti.
Ku bersabar menantinya, meski hari kelulusan kurang empat hari lagi, tapi rasanya lamaaa sekali. Rasa bersalahku tak kunjung mau pergi bahkan semakin menghantui.
Untuk menghibur diri, kulewati empat hari itu dengan mainan laptop. Kemarin aku sempat bertanya apa nama akun fb Fana pada teman sekelasnya. Pada kolom search aku ketik, “R. Elfana” ketemu, ada fotonya dengan senyum manis yang khas dan selalu menghias wajahnya. Aku add dia, namun tak kunjung dikonfirmasi.
Empat hari berlalu, hari kelulusan tiba. Bersama bunda aku berangkat ke sekolah. Apapun hasil dari ujianku akan kuterima apa adanya. Tuhan maha tahu apa yang terbaik untukku.
Bunda masuk kelas, aku pun menunggu di luar dengan hati yang berdebar. Ketika bunda keluar, beliau tersenyum, memelukku dan berkata, “Selamat nak! Kamu lulus!! Rata-rata kamu 9,1!!”
Seketika aku bersujud dan tak henti mengucap kalimat syukur kepadaNya. Hingga bulir bening ini menetes begitu saja. Aih, aku hampir lupa kalau aku harus mencari Fana. Aku minta bunda menunggu di mobil sementara aku mencari gadis bersenyum manis itu.
Aku cari dia di kelasnya, XII B tapi tak ada. Seluruh kelas aku obrak abrik tak ada juga. Aku keliling sekolah, masih tak kudapati ia. Pada akhirnya aku menjelajah koridor di mana aku dan Fana pernah tabrakan. Berharap menemuinya, walau harus tabrakan lagi. Tapi apa yang aku dapati? Batang hidungnya pun tak nampak di sana.
Aku pulang dengan kecewa. Di parkiran aku bertemu dengan Pak Sulistiyo, ayah Fana, aku tanyakan di mana Fana. Dan ternyata Fana tak ikut ke Jakarta. Ia lebih memilih tinggal di Jogja. Tanah kelahirannya dan melanjutkan pendidikannya di UGM Yogyakarta.
Aku tidak tinggal diam. Sebelum keberangkatanku menuju SEOUL untuk mengeruk ilmu didampingi Tante Tara dan suaminya yang juga akan tinggal di sana karena urusan pekerjaan. Pokoknya kau harus mengganti HP Fana!! Akhir Juni aku menyusul Fana ke Jogja.
Sendiri aku mengendarai mobil berbekal kertas bertuliskan alamat pemberian Pak Sulistiyo. Pagi buta aku tiba di kota Jogja. Kebingungan mencari rumah Fana. Pukul delapan pagi barulah aku menemukan rumahnya yang terletak di kawasan Pojok Beteng Wetan.
Seakan kecewa tak ada habisnya melanda. Hanya ada simbok di sana, dan simbok bilang sejak tiga hari yang lalu Fana dirawat di rumah sakit dr. Sardjito karena menderita gagal ginjal. Betapa kaget aku mendengar berita itu.
Tanpa ba bi bu aku langsung meluncur ke rumah sakit. Cukup pusing juga mencarinya karena aku bukan orang jogja. Setiba di sana kutemui ayah dan ibu Fana. Raut muka mereka tampak sangat cemas. Fana kritis!!!
Setelah menunggu cukup lama hingga senja menjelang, Fana berhasil melewati masa kritisnya. aku diijinkan masuk ke ruang opname Fana. Aku bertemu dengannya. Tanpa basa basi langsung aku berikan iPhone 3G pengganti yang dulu pernah aku rusak.
Tak kuduga ia menerima dengan sangat bahagia, tidak ada penolakan sama sekali. Ia buka kardusnya dan memakainya untuk foto-foto narsis. Aku bilang, “Fan, ternyata waktu sakit kamu masih sempet narsis yah…” dia hanya tersenyum. Dan senyum manis itu menghiasi seluruh fotonya dalam HP. Tak lupa ia mengajakku foto bersama, meski hanya ada satu dua jepretan. Tapi itu cukup untukku.
Setelah puas foto-foto, Fana memindahkan sebuah lagu dari MP3-nya. Entah lagu apa aku tak tahu. Karena Fana harus istirahat, aku tak bisa lama-lama di ruang opnamenya, begitu pun orang tua Fana. Kami keluar, Fana pun tidur.
Sekitar pukul tiga dini hari, samar-samar dalam tidurku yang bersandarkan tembok ruang tunggu beserta kursinya aku mendengar suara orang menangis. Ternyata benar, ibu Fana menangis karena Fana kritis lagi. Aku pun ikut merasa cemas, rasanya ngilu sekali hati ini mendengarnya.
Pada akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke mushola dan sholat tahajud. Setelah itu aku dan orang tua Fana bersama-sama merenung. Jika memang ini yang terbaik untuk semua aku ikhlaskan Fana, meski aku belum mengenalnya dan ingin mengenalnya lebih jauh sebetulnya. Tuhan berkehendak lain, Tuhan tak ingin aku memiliki Fana. Tuhan hanya ingin aku bertemu dengan Fana untuk belajar darinya. Belajar tentang ikhlas. Belajar untuk tak banyak bicara dan belajar untuk ramah kepada siapa saja.
Tidak sepertiku saat ini, yang senyum saja pelitnya bukan main. Aku yang sehat tak pernah bergaul dengan teman maupun tetangga. Tapi Fana yang sakit, begitu semangat menebar senyum di setiap kesan perjumpaannya dengan siapa saja. Hingga ia memiliki banyak teman yang akan selalu mengenang akhlak indahnya. Meski gerakannya sangat dibatasi namun ia tetap berusaha untuk bersosialisasi.
Sekitar pukul 04.00 WIB, dokter keluar dari ICU. Tak banyak berkata, bu dokter langsung menyampaikan permohonan maafnya. Permohonan maaf karena tak mampu mengubah takdir Tuhan untuk memanggil Fana ke Arrasy-Nya. “Saudara Elfa, apakah ada di sini” tanya bu dokter. “Iya, saya Elfa bu” sahutku. Sebuah kotak kecil bu dokter serahkan padaku. Kotak itu berisi iPhone 3G yang aku beli dan selembar surat. Pada kotak surat tertulis “untuk sahabat sekilasku, Elfa”
Sahabat? Jadi selama ini dia menganggapku sebagai “sahabat”. Surat darinya pun tak lebih dari surat seorang sahabat. Dalam suratnya ia memintaku untuk menjadikan foto penuh senyum dalam HP-nya sebagai kenangan seorang sahabat, tak lebih. Dan ketika aku sudah menemukan pendamping hidup kelak, ia memintaku menghapus semua file foto yang ada.
Sembari meratapi kepergian Fana, dalam perjalananku menuju Jakarta tak bosan aku mendengar lagu yang Fana pindah dari MP3-nya sebelum ia pergi ke pangkuan-Nya.
”I remember...The way you glanced at me, yes I remember
I remember...When we caught a shooting star, yes I remember
I remember.. All the things that we shared, and the promise we made, just you and I
I remember.. All the laughter we shared, all the wishes we made, upon the roof at dawn….”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar