Assalamualaikum
wr. wb.
Bagaimana
kabar kawan-kawan semua? Baik-baik saja bukan? Alhamdulillah…
Mumpung
masih bisa menyentuh keyboard ini
saya ingin berbagi sedikit cerita.
Sembilan Tahun Tak Pulang
Alhamdulillah,
tahun ini saya, bapak, ibu, dan kedua adik saya akhirnya bisa juga mudik ke
Ciamis. Tepatnya di sebuah desa terpencil di pedalaman Padaherang, Ciamis.
Yaitu, desa Cibogo. Setelah sembilan tahun saya dan ibu saya tak berkunjung ke
sana.
Terakhir
kami ke sana adalah ketika kakek kami, Abdul Rojak berpulang kepada Rabb Yang
Maha Hidup karena stroke yang dideritanya beberapa tahun belakangan saat itu.
Ketika itu saya masih kelas dua SD, adik saya Husni masih berumur tiga bulan.
Malam itu bapak saya di telpon oleh nenek bahwa Aki Ojak sedang kritis-Aki’
adalah sebutan untuk kakek. Dan malam itu juga, saya, bapak, ibu, Husni, dan
paman saya yang masih SMA di Jogja bergegas mengemasi barang-barang.
Di
seberang jalan depan rumah, kami menanti bus yang mungkin bisa mengantar kami
untuk pergi ke kampung halaman. Akhirnya datang juga bus itu, kami berangkat
dari Jogja pukul 00.00
Kebetulan
bus kami ber-AC, malam yang dingin dan penuh khawatir itu menjadi semakin
dingin dan kalut. Pukul 03.00 bapak dapat telpon dari Wak Ida, Wak adalah
sebuatan kakak dari ayah atau ibu. Wak Ida memberi kabar bahwa kakek sudah
berpulang. Dan bapak meminta supaya jangan memberi tahu Mang Pipin, pamanku
terkecil.
Ya,
saya yang saat itu hanya tahu hidup itu tidak mati, dan mati itu tidak hidup
hanya diam menikmati mabuk kendaraan dalam bus.
Pukul
09.00 kami tiba di rumah, kami disambut haru oleh saudara dan kerabat di
halaman rumah. Semua menangis, berpelukan, penuh dengan bisikan kata-kata yang
menegarkan. saya bingung. Saya hanya digandeng oleh ibu dan dibawa masuk ke
rumah untuk melihat jasad kakek yang terakhir kalinya.
“Cium
kakek, Nak!” perintah ibu. Dengan takut-takut, kukecup beliau untuk yang
terakhir kalinya.
Pukul
10.00 kakek segera dimakamkan di pemakaman keluarga yang letaknya tak jauh dari
rumah.
I
tulah
terakhir kalinya saya pulang sebelum mudik tahun ini. Sebagai anak yang
dilahirkan di kampung yang kecil itu, mungkin saya terlalu tega sampai tak
pulang selama sembilan tahun!
Tapi saya
dan ibu tak pulang bukan tanpa alasan. Ada masalah keluarga yang membuat kami
enggan untuk pulang. Nenek kami menikah lagi! Ya Rabb, bapak marah besar saat
itu. Ia pulang hanya untuk marah-marah pada nenek. Toples pun ikut dibanting,
katanya.
Bukan
masalah orangnya tapi yang jadi masalah adalah menikahnya. Bapak dan adik dari
kakek- jadi bibinya bapak, masih berpikir bahwa tega sekali nenek menikah lagi.
Rumah yang dibangun dengan kerja keras Aki Ojak, penuh perjuangan, rumah yang
masih baru itu kini ditempati nenek dengan laki-laki lain. Ya Rabb, dan kemarin
kami datang, rumah itu pun belum ada perubahan, tak makin bagus tapi makin
lusuh. Lebih rapi ketika Aki Ojak masih ada.
Ziarah dan Wasiat Tersembunyi
Tujuan
saya pribadi ikut dalam mudik ini adalah ingin berziarah ke makam kakek yang
sembilan tahun tak pernah ikut merawat, apa lagi membersihkan.
Hari
Kamis, pukul 21.00 kami tiba di rumah nenek. Dengan oleh-oleh buah salak pondoh
yang di sana tidak ada, di sana hanya ada salak Tasik yang rasanya sepet tak
seperti salak pondoh yang manis.
Tahun
ini Mang Pipin tak pulang, ia memilih berlebaran di kapal. Yang pulang adalah
Mang Yayat, yang mungkin rindu pada anak dan istri juga ibunya. Mereka telah
tiba lebih dulu dari kami. Jika mereka siang, kami malam baru sampai. Maklum,
Jogja-Ciamis lebih jauh dari Brebes-Ciamis. Ditambah dengan jalan yang dikeruk.
Entahlah saya bingung dengan pemerintah Indonesia. Sudah tahu mau lebaran,
pasti banyak yang berkendara, eh ini kurang kerjaan jalan sudah bagus malah
dikeruk. Sedangkan di Cilacap jalan yang berlubang-lubang itu tak kunjung
diperbaiki. Sampai oleh warga lubang-lubang itu ditutup dengan batu, gerobak,
gedebog pisang. Tujuannya agar pengemudi tidak melewati lubang itu dan sebagai
bentuk protes warga juga tentunya. Jalan ini terlihat semrawut, bapak pun harus
berhati-hati menyetir di sini, mobil kami merayap zig-zag menghindari batu-batu
itu.
Jum’at
lalu, pukul 10.00 tujuan utama kami laksanakan, ziarah ke makam Aki Ojak. Makam
yang telah berumur sembilan tahun itu, tak lebih dari makam sederhana berupa
gundukan tanah yang tepinya diberi susunan batu, dua batu tertancap di ujung
utara dan selatan, di atas gundukan tanah itu ditanami bunga warnanya merah
yang saya tak tahu namanya. Letaknya berada di antara kebun-kebun singkong,
jika dari jauh ini tak terlihat seperti makam karena tertutup oleh pohon-pohon
singkong dan bambu. Tak ada jalan utama untuk menuju makam ini, kami pun harus mblasak-mblasak kebun singkong agar bisa
berziarah. Posisinya berada pada tanah lereng, jadi miring gitu deh. Ya, itulah
pamakaman keluarga kami, yang di situ juga buyut-buyut saya dimakamkan.
Saya,
bapak, ibu, adik-adik, Mang Yayat beserta istri dan anaknya tak lupa Rizki
keponakan saya yang mengekor kami ikut berdoa, doa yang tulus, doa yang
benar-benar dari hati saya untuk kakek tercinta. Di bawah pohon bambu, di
tengah-tengah kebun singkong, dan dihadapan makam ini saya masih merasakan
kasih sayang dari Aki Ojak.
Pikiran
saya langsung terbang beberapa tahun silam, ketika Aki Ojak masih ada, ketika
saya pulang kemudian disambutnya dengan gendongan dan kecupan hangat. Ketika
yang dimasak adalah ayam yang dulu saya tak doyan, Aki Ojak langsung
menangkapkan ikan mas di kolam belakang rumah. Diajaknya bercanda, dipangkunya,
sungguh indah.
Ketika
saya lahir bukan bapak yang adzan di telinga kanan saya dan iqomah di telinga
kiri saya, bukan bapak tapi Aki Ojak. Sebab saat itu, bapak masih dalam
perjalanan dari Malang, dari berdagang mencari nafkah. Sedikit cerita, karena
rezeki yang belum cukup saat itu saya belum di aqiqah sampai saat ini. “Besok
saja sekalian kalau kamu nikah,” kata ibu. Hahaha, butuh waktu yang tak pendek
untuk menunggu saya menikah.
Setelah
selesai shalat jum’at dan yang perempuan sudah shalat dzuhur kami
bersilaturahmi ke rumah bibinya bapak. Bi Titik namanya, kalau saya manggilnya
Nenek Titik. Rumahnya tidak jauh dari rumah kami, hanya beda desa. Jalan yang gronjal-gronjal membuat perjalan kami
tersendat, tak berubah dari sembilan tahun lalu.
Layaknya
jalan-jalan di desa, kanan sawah kiri sawah, kadang kolam, kadang rawa. Di sana
juga ada pondok pesantren putri salafi bercadar, tapi saya tak tahu namanya.
Mungkin
lima belas menit kami tiba di rumah Nenek Titik. Semua bersalaman, tak
terkecuali saya. Saya yang paling lama bersalaman dengan beliau, sampai
dipeluknya. “Iye teh Eneng? Ya Allah Neng sembilan tahun nggak ke sini…”
rintihnya sambil bercucur air mata.
Saya
sendiri bingung, ini kenapa? Ketemu ya seneng dong, bukan malah nangis. Semua
duduk di luar, di teras rumah Nenek Titik. Sedangkan bapak berada di dalam
bersama suami Nenek Titik, Nenek Titik, dan saya. Kami ngobrol ngalor-ngidul, ditemani kue kacang yang
dulu ketika kecil saya sangat menyukainya.
“Nih
Neng, kue kacang kesukaan Eneng,” Ya Allah masih inget aja, itu kan udah
sembilan tahun yang lalu.
“Yang
ini masukin mobil ya! Buat Eneng nanti di Jogja, sok masukin!” saya menurut saja. Subhanallah banget di bumi ini
saya masih menemukan orang yang menyayangi saya sampai seperti ini, masih ingat
makanan kesuskaan saya ketika kecil.
Semua
cerita masih tentang keluarga kami, masalah-masalah keluarga kami, tentang Aki
Ojak. Sampai tiba pada suatu pembicaraan yang saya tak mengerti karena
orang-orang ini berbicara dengan Bahasa Sunda. Meskipun saya lahir di Sunda
tapi tiga bulan kemudian saya langsung diboyong ke Jogja, jadi belum sempat
belajar Bahasa Sunda. Tapi ada kata-kata ‘Eneng’, ‘Aki Ojak’, ‘wasiat’. Berarti
ngomongin saya. Hayo ada apa?
Kalau
saya menerka mungkin begini, dulu Aki Ojak berwasiat kepada Nenek Titik suruh
jaga saya baik-baik. Setelah di dalam mobil, saya bertanya pada bapak, “Pak
Nenek Titik tadi ngomong apa?”
“Dulu,
waktu Aki’ Ojak masih bisa ngomong Aki Ojak nitipin kamu ke Nenek Titik, mau
dititipin ke Nenek Titik?” saya hanya tersenyum. Ya Rabb, betapa sayang kakek
kepada saya sangat besar, sampai sebelum meninggal pun sempat memikirkan
cucunya yang jauh ini. Mungkin titip di sini bukan berarti harus tinggal
bersamanya, tapi titip sayangi saya.
Ya,
sayangnya Aki Ojak masih bisa saya rasakan dari Nenek Titik dalam hangat
peluknya. Sebelum saya dan keluarga berpamitan dari rumah Nenek Titik beliau
berpesan. Hanya satu pesannya, “Sing pinter, Neng!” subhanallah, dari sini saya
menemukan semangat baru. Meski agak jauh saya belajar, meski susah saya
belajar. Nanti, ketika sukses itu datang bukan hanya saya yang bahagia tetapi
keluarga besar di kampung sana juga ikut bahagia. Dan sebaliknya ketika hancur
bukan hanya saya yang kecewa tapi mereka juga ikut kecewa. Ya Rabb kuatkan
saya.
Di sana
semua mendoakan, “Sing pinter sakolahna, Neng! Biar nanti bisa jadi ustadzah,
jadi dosen, mencerahkan masyarakat.” Itulah doa dari Wa’ Onah, kerabat dekat
kami juga. Ya Allah, di sana pokoknya kalau ketemu orang yang keluar dari mulut
mereka adalah doa. “Ya Allah, Eneng. Udah perawan sekarang.” Itu ucapan pertama
yang dilanjutkan dengan obrolan kemudian akhirnya “Sing pinter sakolahna,
Neng!”
Alhamdulillah
ya Allah, terima kasih atas semuanya. Saya pun mohon doa pada pembaca sekalian.
Semoga kita sama-sama sukses nantinya, nanjah
ma’an!
S
ebetulnya
saya masih ingin bercerita tentang mobil bapak yang ritingnya ringsek gara-gara
nabrak LGX waktu macet di Gombong jl. Yos Sudarso nomer 600 berapa gitu. Juga
kami yang pulang melalui jalur pantai, asik sekali pokoknya. Tapi saya belum
mandi dan waktu juga sudah semakin sore. Jadi sampai sini dulu ceritanya yaa..
Semoga
bermafaat. Saya juga mengucapkan terima kasih bagi siapa pun yang sudah mau
membaca catatan ini. Tak bisa membagi oleh-oleh berupa makanan, maka inilah
oleh-oleh untuk kawan semua.
Wassalamualaikum
wr. wb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar