Debu-debu atmosfir berlomba mengukir indah rona senja di sudut barat kota Kairo. Membenamkan diriku seiring terbenamnya matahari dilahap rotasi bumi. “Tok, tok,tok. Jeglek!!!” suara pintu kamarku terbuka. Terlihat bibiku ramah berdiri di ambang pintu dengan balutan jilbab panjang dan gamis abu-abunya. Buru-buru aku menutup laptop sembari menghapus bulir bening kerapuhanku. “Eh, bibi… mmh, afwan, Bi. Lukman terlalu serius mengerjakan tugas jadi nggak dengar bibi mengetuk pintu.”
“Nggak apa-apa. Justru Bibi Salamah yang minta maaf karena masuk kamar tanpa izinmu. Kamu kenapa Lukman?” Tanya bibi tiba-tiba. “Kenapa a a apanya, Bi? Lukman nggak kenapa-napa kok. Ana bi khair,” jawabku lirih.
“Jangan berbohong pada bibi, Lukman. Nggak mungkin kalau nggak kenapa-napa kamu bisa sesedih ini,” bantah bibi lembut. Ternyata bibi sempat melihatku menangis. “Lukman tahu, kan? Di sini bibi bertanggung jawab atas diri Lukman pada orang tua Lukman. Bibi nggak mau mngecewakan orang tua Lukman yang telah memberi amanat untuk merawat dan menjagamu selama di Kairo. Maka Lukman, apa pun yang terjadi ceritalah pada bibi,” tutur bibi. Namun aku masih terpaku menahan haru.
“Lukman, masalah itu tak akan pernah terselesaikan jka hanya dipendam dan ditangisi. Bagilah masalah itu dengan orang lain. Dengan bibi misalnya, siapa tahu bibi bisa bantu. Toh, selama ini bibi sudah menganggapmu seperti anak kandung bibi sendiri. Kalau kamu nggak siap cerita sekarang, nanti atau besok juga nggak apa-apa. Insya Allah, bibi akan menjadi pendengar yang baik untuk Lukman, kapan pun itu,” kebijaksanaan bibi selalu membuatku luluh.
“Iya deh, Bi,” singkatku. Perlahan aku buka kembali laptopku yang menampakkan halaman facebook sebuah foto. Foto undangan pernikahan. Aku perlihatkan pada bibi. “Astaghfirullah. Sirina Nilam? Menikah dan bukan denganmu?” bibi kaget dan sepertinya shock. “Yang sabar, Lukman. Biar bibi yang mengurus dan meluruskan,” bergegas keluar dari kamar dan turun ke lantai satu. Mungkin bibi menelpon keluarga Sirina di Indonesia dan menanyakan kebenaran dan apa maksud dari undangan di facebook itu.
Dalam e-mail, Sirina bertutur dengan terbuka tentang ketidak sabarannya terhadap penantian yang cukup panjang ini. Jarak ribuan mil ternyata tak hanya mampu memisah raga kami ternyata juga mampu menghapus kesetiaan salah satu dari kami. Dan perjodohan amanat orang tuaku ini, akankah kandas begitu saja? Disatu sisi aku sadar bahwa mungkin Sirina memang bukan jodohku. Tapi di sisi lain aku takut mengecewakan emak dan bapak karena tak mampu memperjuangkan amanat dari mereka.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar…” Sementara itu kumandang adzan maghrib dari masjid Rabea El Adawea membangkitkan ragaku umtuk segera melangkahkan kaki memenuhi panggilan-Nya. Disaat seperti ini masjid selalu dapat merapikan kondisi pikiran dan hatiku yang semrawut dengan sensasi hawa sejuk alaminya.
Selepas sholat sunah rawatib aku jalan-jalan ke sungai Nil. Nil itu indah sekali ketika malam, apa lagi malam ini adalah bulan purnama. Sungguh menambah pesona dan daya tarik tersendiri bagi Nil. Airnya yang mengalir tenang bersabar menunggu antrian sampai ke muara. Setia mengalirkan air pembawa berbagai zat penyubur ke lahan-lahan pertanian warga di lembah sungai Nil. Aku ingin menjadi sperti Nil, Nil yang sabar, Nil yang bermanfaat, dan Nil yang setia.
“Assalamualaikum..”
“Wa’alaikumsalam. Eh, sudah pulang dari masjid, Lukman?”
“Sudah, Bi.”
“Ayo, makan dulu sini. Bibi masak enak buat kamu. Nih, ada karedok asli resep dari Nini,” ajak Bibi Salamah. Sebetulnya aku tak selera makan, tapi tidak enak pada bibi karena sudah masak spesial untukku. “Makasih ya, Bi,” kataku. “Iya… Ayo cepat dimakan!” bibi menyodorkan sepiring nasi padaku.
“Lukman, hidup itu untuk dijalani, bukan untuk ditangisi, sudahlah santai saja,” Mang Dino tiba-tiba memecah suara denting sendok dan piring. Aku tidak mengerti kenapa Mang Dino tiba-tiba bicara begitu. “Sudah, Akang. Nanti saja kita membicarakannya, biarkan Lukman makan dulu,” sergah bibi. “Aya naon, Mang? Ngomong sekarang ajah, nggak apa-apa atuh, kan malah lebih santai dan tidak terlalu serius. Mangga…” aku mempersilahkan.
“Betul kata Lukman, Salamah. Ngobrol di sini akan lebih santai.”
“Nggak! Nanti saja, nggak baik ngomong sambil makan,” Bibi Salamah tegas.
“Ya sudah, nanti saja ya, Lukman,” Mang Dino menunda niatnya.
Aku hanya mengangguk-angguk saja tanda setuju. Ruang makan keluarga kami terasa hangat dengan candaan Mang Dino di tengah malam yang dingin cuaca padang pasir.
Makan malam terasa cepat dan Mang Dino memulai petuahnya, “Nah Lukman, Mang Dino hanya mau berpesan kepadamu. Ini bukan masalah, Lukman. Selesaikanlah kuliahmu, jangan hanya karena kejadian ini nilaimu jadi terganggu. Jangan sampai targetmu untuk lulus dengan nilai mumtaz jadi terbengkalai.”
“Tapi bagaimana dengan emak dan bapak, Mang?” aku kalut. “Masalah emak dan bapak, mereka akan baik-baik saja, Lukman. Yang penting kamu belajar rajin di sini ya,” jelas Mang Dino.
“Baiklah, Mang. Barang siapa menghendaki bahagia di dunia dan di akhirat bukankah wajib baginya menuntut ilmu?” aku ikhlas.
“Betul sekali, Lukman. Tuntutlah ilmu selagi kau mampu, terapkan dan bagikan ilmu itu dalam bingkai keimanan,” tutup Mang Dino. Aku mohon ijin ke kamar lebih dulu untuk istirahat setelah sesiang dan sesore tadi lelah kuliah dan penat dengan masalah Sirina.
Sejujurnya aku masih cinta pada Sirina, aku pun tak habis pikir mengapa Sirina dengan mudahnya melupakan janji setia kami dulu. “Ya Allah, beri aku hati yang lapang dan ikhlas. Aku yakin Engkau pasti lebih tahu mana yang terbaik untukku,” doaku menutup hari dan bergegas ke alam mimpi.
Malam yang larut perlahan beranjak pada subuh yang syahdu. “Allahu Akbar Allahu Akbar…” adzan shubuh membuatku terjaga. Hari Jum’at yang indah. Ah, entah mengapa hari Jum’at itu selalu menjadi hari yang indah buatku. Seperti biasa, pagi ini aku pergi ke masjid Rabea El Adawea untuk sholat shubuh berjamaah. Hari ini aku tidak ada kuliah, rencananya akan aku manfaakan hari ini untuk jalan-jalan ke kawasan Hadiqah Azhar alias Azhar Park. Sekedar refreshing.
Ya, kali ini Hadiqah Azhar tidak terlihat hijau namun sedikit kuning atau bahkan coklat disebabkan dedaunan yang mengering. Luruh satu-satu. Bahkan ada pohon yang telah gundul tanpa daun namun masih terdapat sel-sel hidup di dalamnya. Penghujung musim gugur. Angin yang bertiup membuat tubuh kurusku menggigil kedinginan.
Hadiqah Azhar tetap Hadiqah Azhar, meski di ujung autumn yang begitu dingin namun tetap memiliki pengunjung yang tak sedikit. Banyak kanak-kanak bermain di sana, berlari-larian, berteriak-teriak dengan sesama teman kanaknya atau bahkan saudaranya. Menjerit, jatuh, dan mendekap dalam peluk ibunya. Ah, kanak-kanak memang dunia yang menyenangkan.
Hari beranjak dhuhur. Puas aku melihat pemandangan autumn elok di Hadiqah Azhar, aku melanjutkan perjalanan menuju Port Said setelah sebelumnya mampir di masjid Al-Azhar untuk sholat dhuhur.
Ke Port Said, ya untuk apa lagi kalau bukan menghabiskan sesiang, sesore, dan sesenjaku di sana. Port Said adalah kota di ujung Terusan Zues. Menurut sejarah Terusan Zues dibangun oleh seorang bernama Ferdinand de Lessep. Namun konon katanya jejak-jejak Terusan Zues telah ada sejak zaman Fir’aun, Fir’aun ke berapa tidak ada penjelasan. Dan Ferdinand de Lessep tinggal meneruskannya. Wallahualam bissawab.
Port Said menjadi kota pelabuhan di Mesir. Selalu ramai dengan kapal-kapal pesiar yang mampir membuang sauh. Mebawa ribuan turis asing yang kaya-kaya. Ah, ya kebanyakan dari mereka berasal dari Eropa. Kok mereka bisa berlibur di tengah krisis sih? Haha entahlah.
Sang surya beranjak semakin ke barat menandakan hari semakin sore, sholat asar pun tak lupa telah aku kerjakan di masjid setempat. Langit pun semakin oranye keemasan. Subhanallah indahnya pantai di sisi laut mediterania ini. Aku suka suasana seperti ini, pelabuhan yang banyak orang mulai semarak dengan lampu-lampu jalan yang lekas dinyalakan. Keramaian di tengah hiruk pikuk kesibukan banyak orang. Aku suka ramai, meski dalam hatiku sungguh terasa sepi.
Isyak, aku baru sampai rumah. “Makan dulu, Lukman,” ajak bibi. “Tidak, Bi. Baru saja Lukman makan, masih kenyang,” jawabku sekenanya. Setelah permisi aku langsung naik ke lantai dua untuk masuk kamar dan istirahat. O iya, sholat isya’ juga tentunya.
Pegal sekali rasanya setelah jalan-jalan seharian. Meski hanya dua objek. Sebetulnya masih ingin juga pergi ke suatu tempat lagi. Yaitu Sakakini Palace, katanya sih tempatnya romantis. Tapi, untuk apa sih romantis dalam diriku. Lumayan juga, menyibukkan diri seharian membuatku sekilas lupa dengan Sirina. Ah, sudah. Tidak usah diingat-ingat lagi.
Dari jendela aku pandang langit Kairo, dari jendela pula angin musim dingin mulai bertiup mengganti udara di kamarku. Kawan, jangan harap musim dingin di Kairo ada salju. Salju hanya ada di gunung, tidak seperti di Amerika atau negara-negara Eropa yang saljunya jatuh sampai mencium tanah.
Suara angin berdenging menjadi back sound yang mengiringi tidurku. Lelap sekali aku tertidur di bawah selimut tebal, meski dingin masih saja menusuk. Dalam dingin yang menggigil aku bermimpi, Sirina telah bahagia menikah dengan lelaki pujaannya. Senyumnya mengembang penuh binar bahagia di pelaminan. Sementara aku di Kairo gagal menyelesaikan tesis. Sungguh, mimpi yang amat buruk.
Di shubuh yang gigil itu aku bangun. Segera menunanaikan kewajiban, meski brrrr yang tak tertahan hingga membuat gigi gemelutuk.
Winter ya, itu berarti waktu bermalas-malasan. Hey, bukankah sebagai umat muslim kita tidak boleh bermalas-malasan? OK, kalau begitu, it’s time to online full. Hahaha. Lebih banyak waktu musim dingin aku habiskan dengan membaca muqoror yang tak jelas tulisannya dan aku tak mampu membacanya. Lebih parah dari aksara Jawa pokoknya. Tapi, mau bagaimana lagi? Ujian sebentar lagi akan datang, mau tidak mau harus dilahab muqoror yang banyak dan tidak jelas bacanya apa.
Musim dingin kali ini sedikit diwarnai duka. Duka oleh meninggalnya Syaikh Al-Azhar, Syaikh Imad Iffat (salah satu pengajar tallaqi di Masjid Al-Azhar juga dosen di lembaga fatwa Mesir). Syahid ketika mencoba menenangkan domonstran yang bentrok dengan aparat. Juga, duka akibat peristiwa bunuh diri. Ini bukan bunuh diri seseorang, namun bunuh diri suatu negara. Peristiwa pembakaran perpustakaan yang berisi lebih dari 200.000 buku serta dokumen-dokumen penting negara. Bukankah itu membunuh sejarah peradaban bangsa?
Mengenaskan sekali, kapan negara ini akan bisa tenang? Bukankah Mubarakh sudah lengser? Bukankah pemilu baru saja dilaksanakan? Oh aku lupa, masih ada rezim militer yang berkuasa di sini, yang belum mampu memenuhi kepuasan rakyatnya. Atau bahkan malah menjadi musuh bagi rakyat. Aku tak mengerti, sungguh tak mengerti.
Sudahlah, lebih baik aku memkirkan ujianku saja, yang tinggal menghitung minggu. Muqarar yang menggunung belum dibaca. Butuh waktu untuk memahaminya, Biarkan aku tengelam di balik tumpukan muqoror itu.
Tak terasa, waktu yang dulu terlihat begitu panjang kini telah mendekat menjadi begitu pendek. Ujian telah tiba. Tidak ada remidi di Al-Azhar , Kawan. Kalau ada tiga saja mata kuliah yang tak tuntas/lulus, maka kau harus mengulang tahun depan. Dag, dag, dag. Dig, dig, dig. Dug, dug,dug. Dag, dig, dug, bedug dong. “Lukman El-Maghriby,” namaku telah dipanggil dosen dalam ujian lisan kali ini.
Satu persatu pertanyaan yang dilontarkan dosen aku jawab panjang kali lebar sama dengan luas. Sebisaku, semampuku, seingatku, dan sepahamku tentang materi yang ia tanyakan. Keringat dingin mentes di pelipisku, juga di dadaku terasa sekali aliran tetes itu. Memang ada pertanyaan dosen yang aku menyerah tak mampu menjawab, tapi tak banyak.
Ketika bibi bertanya saat aku tiba di rumah, “Bagaimana ujiannya, Lukman?” Dengan sumringah aku menjawab, “Hamdulillah, mumtaz, Bi!” Itu terjadi hampir setiap aku pulang dari kampus.
Alhamdulillah ya Rabb, mimpi buruk itu tak terjadi. Singkat cerita ujianku rampung, tepat di hari terakhir ujian setelah ujian aku menyempatkan diri jalan-jalan. Wah, jalan-jalan terus yah. Memenuhi hasratku yang ingin berkunjung ke tepian sungai Nil- tak jauh dari rumah. Dalam perjalanan kubayangkan riaknya yang mangalir, syahdu. Membuat hati merasa damai. Baru dibayangkan.
Begitu sampai di sana… ada wanita yang sedang duduk selonjor memunggungi arah datangku. Jilbabnya lebar, hijau lembut dibordir motif bunga sekelilingnya. Apa? Motif itu? Bukankah, itu motif kreasiku ketika aku belajar mengoperasikan mesin bordir dulu? Dan jilbab itu, kain pertama yang sempurna berhasil aku bordir, lalu saat itu aku berikan pada… siapa lagi kalau bukan… Sirina.
Ah, tidak mungkin!!! Sirina kan sudah menikah. Mana mungkin dia nyasar sampai sini. Suaminya juga bukan mahasiswa Al-Azhar. Untuk apa dia kemari? Lagi pula, mungkin motif yang aku buat itu terlalu pasaran. Jadi, banyak sekali jilbab bermotif seperti itu.
Tapi bagaimana kalau benar dia Sirina? Dari posturnya memang mirip. Aku ingat betul, meski sudah bertahun-tahun lalu terakhir aku memandangnya. Tapi untuk apa dia di sini? Sedang bulan madu mungkin di Kairo. Atau suaminya sekarang pindah kampus. Bisa juga suaminya kerja di sini. Hal-hal aneh ini terus menghantui, membuatku penasaran siapa wanita ini sebetulnya.
Tapi biarkan sajalah. Malas aku menyapanya, kalau bukan Sirina aku malah jadi malu nanti. Kalau Sirina, aku terlanjur sebal padanya, malas juga bicara dengannya. Biarlah aku kehilangan tempat favoritku. Lagi pula sungai ini kan panjang. Terpanjang di dunia malah. Jadi aku masih bisa cari tempat lain.
Bersama dekak sepatuku, aku meninggalkan tempat itu. Tanpa sedikit pun melirik wanita itu. Tiba-tiba…
“Lukman, mau ke mana?” suara wanita. Jangan-jangan wanita yang duduk selonjor tadi, yang pakai jilbab hijau lembut tadi. Kok dia mengenalku? Mungkin salah orang. Biarkan sajalah, pura-pura tidak dengar.
“Lukman, Lukman, Lukman, Lukman El-Maghriby,” ya ampun, sampai empat kali menyebut namaku. Lengkap lagi. Tidak, bukan, pokoknya bukan Sirina. Langkahku semakin cepat, tegap, dan lebar.
“Tunggu Lukman. Kumohon, berhenti! Berhenti! Aku mohon,” seperti suara rintihan. Aku tak tahan jika harus mendengar rintihan wanita yang akan menangis. Hatiku juga beregejolak sebetulnya ketika wanita itu memanggilku. Mirip suara Sirina. Maka kuputuskan untuk sekedar menoleh.
Jeng-jeng, Ya Rabb. Aku menelan ludah. Untuk apa dia ke sini? Belum puaskah telah menyakiti hatiku. Menggalikan lubang besar yang menganga dipermukaannya. Belum cukupkah? Apa masih ingin memperlebarnya sampai hatiku habis tak tersisa dimakan oleh lubang galiannya?
Sungguh, kedatangannya membuatku badmood. Aku memilih pulang. Tapi Sirina tetap mengejarku. “Aku mohon, STOP! Jangan kejar aku!”
“Aku yakin kamu juga pasti sudah mengerti. Kamu istri orang. Jangan mengejarku lagi dong,” tegasku padanya.
“Lukman, siapa yang istri orang? Nih, lihat KTP-ku! Statusnya belum kawin.”
“Lalu apa maksud undangan itu, Sirina? Bukankah kau juga tahu bahwa aku mencintaimu. Tapi kenapa kau tega melakukan itu, mem-publish undangan sekenamu, di facebook pula?” tanyaku.
“Lukman, aku hanya bercanda,” kata Sirina enteng.
“Hah? bercanda katamu? Bercanda sampai segitunya? Kelewatan kamu, Sirina!”
“Lukman, kamu kan juga tahu bahwa aku sedang mengawali bisnisku. Wedding organizer. Aku hanya promosi undangan, Lukman. Dan yang kamu lihat itu salah satu samplenya,” jawabnya.
“ Lalu, bagaimana dengan e-mail itu? Kau bilang lelah menungguku…”
“Tapi aku tak bilang akan meninggalkanmu kan? Maka dari itu kali ini aku menyusulmu. Guna merayakan kesuksesanmu dalam ujian juga.”
“Iya. Tapi kenapa bibi dan paman tidak berkata seperti itu?”
“Yang benar? Padahal dalam telpon aku telah menjelaskan panjang lebar tentang salah paham ini,” Sirina kaget.
“Baiklah, ayo kita pulang!” ajakku.
Setibanya di rumah, paman dan bibi menyambut meriah kami yang berjalan depan belakang, tidak berjajar. “Wa’alaikumsalam, eh ponakan bibi sudah pulang. Sini ayo, langsung saja kita makan ya? Bibi sudah masak makanan kesukaan kamu lho, Lukman,” ajak bibi setelah menjawab salamku.
“Tunggu, Bi. Maaf Lukman lancing, kenapa bibi tidak menjelaskan pada Lukman tentang salah paham antara aku dan Sirina, Bi? Kenapa Bi?”
“Oh, soal itu. Bukankah dulu paman sudah menjelaskan padamu?” bibi bertanya balik.
“Paman? Menjelaskan? Kapan, Bi?”
“Dulu, sewaktu kita habis makan malam. Ya, malam saat kamu galau habis-habisan gara-gara undangan Sirina yang untuk promosi itu,” Jelas bibi.
“Maksud bibi?”
“Iya, paman kamu kan dulu sama sekali tidak menyinggung tentang pernikahan Sirina kan? Hayo? Dia hanya bilang kalau ini semua bukan masalah. Dan kamu diminta fokus untuk kuliah, yak an? Iya tidak?” bibi nerocos.
“Hehe, berarti Lukman yang nggak paham ya, Bi?”
Cekikikkan membahana di rumah itu mengiringi permintaan maafku pada Sirina yang selama ini telah aku anggap yang tidak-tidak.
#NB: Mohon maaf bila terdapat banyak keasalahan deskripsi. Karena saya pun belum pernah datang ke tempatnya.
oiya, mohon dikritik juga ya:) eh iya, hampir lupa ssya mau bilang. Tulisan ini banyak terinspirasi(baca:plagiat) dari note-note kakak-kakak masisir yang saya baca, hehe peace ya Kak:)Yang tidak terima silahkan lempar saya dengan uang:)
“Nggak apa-apa. Justru Bibi Salamah yang minta maaf karena masuk kamar tanpa izinmu. Kamu kenapa Lukman?” Tanya bibi tiba-tiba. “Kenapa a a apanya, Bi? Lukman nggak kenapa-napa kok. Ana bi khair,” jawabku lirih.
“Jangan berbohong pada bibi, Lukman. Nggak mungkin kalau nggak kenapa-napa kamu bisa sesedih ini,” bantah bibi lembut. Ternyata bibi sempat melihatku menangis. “Lukman tahu, kan? Di sini bibi bertanggung jawab atas diri Lukman pada orang tua Lukman. Bibi nggak mau mngecewakan orang tua Lukman yang telah memberi amanat untuk merawat dan menjagamu selama di Kairo. Maka Lukman, apa pun yang terjadi ceritalah pada bibi,” tutur bibi. Namun aku masih terpaku menahan haru.
“Lukman, masalah itu tak akan pernah terselesaikan jka hanya dipendam dan ditangisi. Bagilah masalah itu dengan orang lain. Dengan bibi misalnya, siapa tahu bibi bisa bantu. Toh, selama ini bibi sudah menganggapmu seperti anak kandung bibi sendiri. Kalau kamu nggak siap cerita sekarang, nanti atau besok juga nggak apa-apa. Insya Allah, bibi akan menjadi pendengar yang baik untuk Lukman, kapan pun itu,” kebijaksanaan bibi selalu membuatku luluh.
“Iya deh, Bi,” singkatku. Perlahan aku buka kembali laptopku yang menampakkan halaman facebook sebuah foto. Foto undangan pernikahan. Aku perlihatkan pada bibi. “Astaghfirullah. Sirina Nilam? Menikah dan bukan denganmu?” bibi kaget dan sepertinya shock. “Yang sabar, Lukman. Biar bibi yang mengurus dan meluruskan,” bergegas keluar dari kamar dan turun ke lantai satu. Mungkin bibi menelpon keluarga Sirina di Indonesia dan menanyakan kebenaran dan apa maksud dari undangan di facebook itu.
Dalam e-mail, Sirina bertutur dengan terbuka tentang ketidak sabarannya terhadap penantian yang cukup panjang ini. Jarak ribuan mil ternyata tak hanya mampu memisah raga kami ternyata juga mampu menghapus kesetiaan salah satu dari kami. Dan perjodohan amanat orang tuaku ini, akankah kandas begitu saja? Disatu sisi aku sadar bahwa mungkin Sirina memang bukan jodohku. Tapi di sisi lain aku takut mengecewakan emak dan bapak karena tak mampu memperjuangkan amanat dari mereka.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar…” Sementara itu kumandang adzan maghrib dari masjid Rabea El Adawea membangkitkan ragaku umtuk segera melangkahkan kaki memenuhi panggilan-Nya. Disaat seperti ini masjid selalu dapat merapikan kondisi pikiran dan hatiku yang semrawut dengan sensasi hawa sejuk alaminya.
Selepas sholat sunah rawatib aku jalan-jalan ke sungai Nil. Nil itu indah sekali ketika malam, apa lagi malam ini adalah bulan purnama. Sungguh menambah pesona dan daya tarik tersendiri bagi Nil. Airnya yang mengalir tenang bersabar menunggu antrian sampai ke muara. Setia mengalirkan air pembawa berbagai zat penyubur ke lahan-lahan pertanian warga di lembah sungai Nil. Aku ingin menjadi sperti Nil, Nil yang sabar, Nil yang bermanfaat, dan Nil yang setia.
“Assalamualaikum..”
“Wa’alaikumsalam. Eh, sudah pulang dari masjid, Lukman?”
“Sudah, Bi.”
“Ayo, makan dulu sini. Bibi masak enak buat kamu. Nih, ada karedok asli resep dari Nini,” ajak Bibi Salamah. Sebetulnya aku tak selera makan, tapi tidak enak pada bibi karena sudah masak spesial untukku. “Makasih ya, Bi,” kataku. “Iya… Ayo cepat dimakan!” bibi menyodorkan sepiring nasi padaku.
“Lukman, hidup itu untuk dijalani, bukan untuk ditangisi, sudahlah santai saja,” Mang Dino tiba-tiba memecah suara denting sendok dan piring. Aku tidak mengerti kenapa Mang Dino tiba-tiba bicara begitu. “Sudah, Akang. Nanti saja kita membicarakannya, biarkan Lukman makan dulu,” sergah bibi. “Aya naon, Mang? Ngomong sekarang ajah, nggak apa-apa atuh, kan malah lebih santai dan tidak terlalu serius. Mangga…” aku mempersilahkan.
“Betul kata Lukman, Salamah. Ngobrol di sini akan lebih santai.”
“Nggak! Nanti saja, nggak baik ngomong sambil makan,” Bibi Salamah tegas.
“Ya sudah, nanti saja ya, Lukman,” Mang Dino menunda niatnya.
Aku hanya mengangguk-angguk saja tanda setuju. Ruang makan keluarga kami terasa hangat dengan candaan Mang Dino di tengah malam yang dingin cuaca padang pasir.
Makan malam terasa cepat dan Mang Dino memulai petuahnya, “Nah Lukman, Mang Dino hanya mau berpesan kepadamu. Ini bukan masalah, Lukman. Selesaikanlah kuliahmu, jangan hanya karena kejadian ini nilaimu jadi terganggu. Jangan sampai targetmu untuk lulus dengan nilai mumtaz jadi terbengkalai.”
“Tapi bagaimana dengan emak dan bapak, Mang?” aku kalut. “Masalah emak dan bapak, mereka akan baik-baik saja, Lukman. Yang penting kamu belajar rajin di sini ya,” jelas Mang Dino.
“Baiklah, Mang. Barang siapa menghendaki bahagia di dunia dan di akhirat bukankah wajib baginya menuntut ilmu?” aku ikhlas.
“Betul sekali, Lukman. Tuntutlah ilmu selagi kau mampu, terapkan dan bagikan ilmu itu dalam bingkai keimanan,” tutup Mang Dino. Aku mohon ijin ke kamar lebih dulu untuk istirahat setelah sesiang dan sesore tadi lelah kuliah dan penat dengan masalah Sirina.
Sejujurnya aku masih cinta pada Sirina, aku pun tak habis pikir mengapa Sirina dengan mudahnya melupakan janji setia kami dulu. “Ya Allah, beri aku hati yang lapang dan ikhlas. Aku yakin Engkau pasti lebih tahu mana yang terbaik untukku,” doaku menutup hari dan bergegas ke alam mimpi.
Malam yang larut perlahan beranjak pada subuh yang syahdu. “Allahu Akbar Allahu Akbar…” adzan shubuh membuatku terjaga. Hari Jum’at yang indah. Ah, entah mengapa hari Jum’at itu selalu menjadi hari yang indah buatku. Seperti biasa, pagi ini aku pergi ke masjid Rabea El Adawea untuk sholat shubuh berjamaah. Hari ini aku tidak ada kuliah, rencananya akan aku manfaakan hari ini untuk jalan-jalan ke kawasan Hadiqah Azhar alias Azhar Park. Sekedar refreshing.
Ya, kali ini Hadiqah Azhar tidak terlihat hijau namun sedikit kuning atau bahkan coklat disebabkan dedaunan yang mengering. Luruh satu-satu. Bahkan ada pohon yang telah gundul tanpa daun namun masih terdapat sel-sel hidup di dalamnya. Penghujung musim gugur. Angin yang bertiup membuat tubuh kurusku menggigil kedinginan.
Hadiqah Azhar tetap Hadiqah Azhar, meski di ujung autumn yang begitu dingin namun tetap memiliki pengunjung yang tak sedikit. Banyak kanak-kanak bermain di sana, berlari-larian, berteriak-teriak dengan sesama teman kanaknya atau bahkan saudaranya. Menjerit, jatuh, dan mendekap dalam peluk ibunya. Ah, kanak-kanak memang dunia yang menyenangkan.
Hari beranjak dhuhur. Puas aku melihat pemandangan autumn elok di Hadiqah Azhar, aku melanjutkan perjalanan menuju Port Said setelah sebelumnya mampir di masjid Al-Azhar untuk sholat dhuhur.
Ke Port Said, ya untuk apa lagi kalau bukan menghabiskan sesiang, sesore, dan sesenjaku di sana. Port Said adalah kota di ujung Terusan Zues. Menurut sejarah Terusan Zues dibangun oleh seorang bernama Ferdinand de Lessep. Namun konon katanya jejak-jejak Terusan Zues telah ada sejak zaman Fir’aun, Fir’aun ke berapa tidak ada penjelasan. Dan Ferdinand de Lessep tinggal meneruskannya. Wallahualam bissawab.
Port Said menjadi kota pelabuhan di Mesir. Selalu ramai dengan kapal-kapal pesiar yang mampir membuang sauh. Mebawa ribuan turis asing yang kaya-kaya. Ah, ya kebanyakan dari mereka berasal dari Eropa. Kok mereka bisa berlibur di tengah krisis sih? Haha entahlah.
Sang surya beranjak semakin ke barat menandakan hari semakin sore, sholat asar pun tak lupa telah aku kerjakan di masjid setempat. Langit pun semakin oranye keemasan. Subhanallah indahnya pantai di sisi laut mediterania ini. Aku suka suasana seperti ini, pelabuhan yang banyak orang mulai semarak dengan lampu-lampu jalan yang lekas dinyalakan. Keramaian di tengah hiruk pikuk kesibukan banyak orang. Aku suka ramai, meski dalam hatiku sungguh terasa sepi.
Isyak, aku baru sampai rumah. “Makan dulu, Lukman,” ajak bibi. “Tidak, Bi. Baru saja Lukman makan, masih kenyang,” jawabku sekenanya. Setelah permisi aku langsung naik ke lantai dua untuk masuk kamar dan istirahat. O iya, sholat isya’ juga tentunya.
Pegal sekali rasanya setelah jalan-jalan seharian. Meski hanya dua objek. Sebetulnya masih ingin juga pergi ke suatu tempat lagi. Yaitu Sakakini Palace, katanya sih tempatnya romantis. Tapi, untuk apa sih romantis dalam diriku. Lumayan juga, menyibukkan diri seharian membuatku sekilas lupa dengan Sirina. Ah, sudah. Tidak usah diingat-ingat lagi.
Dari jendela aku pandang langit Kairo, dari jendela pula angin musim dingin mulai bertiup mengganti udara di kamarku. Kawan, jangan harap musim dingin di Kairo ada salju. Salju hanya ada di gunung, tidak seperti di Amerika atau negara-negara Eropa yang saljunya jatuh sampai mencium tanah.
Suara angin berdenging menjadi back sound yang mengiringi tidurku. Lelap sekali aku tertidur di bawah selimut tebal, meski dingin masih saja menusuk. Dalam dingin yang menggigil aku bermimpi, Sirina telah bahagia menikah dengan lelaki pujaannya. Senyumnya mengembang penuh binar bahagia di pelaminan. Sementara aku di Kairo gagal menyelesaikan tesis. Sungguh, mimpi yang amat buruk.
Di shubuh yang gigil itu aku bangun. Segera menunanaikan kewajiban, meski brrrr yang tak tertahan hingga membuat gigi gemelutuk.
Winter ya, itu berarti waktu bermalas-malasan. Hey, bukankah sebagai umat muslim kita tidak boleh bermalas-malasan? OK, kalau begitu, it’s time to online full. Hahaha. Lebih banyak waktu musim dingin aku habiskan dengan membaca muqoror yang tak jelas tulisannya dan aku tak mampu membacanya. Lebih parah dari aksara Jawa pokoknya. Tapi, mau bagaimana lagi? Ujian sebentar lagi akan datang, mau tidak mau harus dilahab muqoror yang banyak dan tidak jelas bacanya apa.
Musim dingin kali ini sedikit diwarnai duka. Duka oleh meninggalnya Syaikh Al-Azhar, Syaikh Imad Iffat (salah satu pengajar tallaqi di Masjid Al-Azhar juga dosen di lembaga fatwa Mesir). Syahid ketika mencoba menenangkan domonstran yang bentrok dengan aparat. Juga, duka akibat peristiwa bunuh diri. Ini bukan bunuh diri seseorang, namun bunuh diri suatu negara. Peristiwa pembakaran perpustakaan yang berisi lebih dari 200.000 buku serta dokumen-dokumen penting negara. Bukankah itu membunuh sejarah peradaban bangsa?
Mengenaskan sekali, kapan negara ini akan bisa tenang? Bukankah Mubarakh sudah lengser? Bukankah pemilu baru saja dilaksanakan? Oh aku lupa, masih ada rezim militer yang berkuasa di sini, yang belum mampu memenuhi kepuasan rakyatnya. Atau bahkan malah menjadi musuh bagi rakyat. Aku tak mengerti, sungguh tak mengerti.
Sudahlah, lebih baik aku memkirkan ujianku saja, yang tinggal menghitung minggu. Muqarar yang menggunung belum dibaca. Butuh waktu untuk memahaminya, Biarkan aku tengelam di balik tumpukan muqoror itu.
Tak terasa, waktu yang dulu terlihat begitu panjang kini telah mendekat menjadi begitu pendek. Ujian telah tiba. Tidak ada remidi di Al-Azhar , Kawan. Kalau ada tiga saja mata kuliah yang tak tuntas/lulus, maka kau harus mengulang tahun depan. Dag, dag, dag. Dig, dig, dig. Dug, dug,dug. Dag, dig, dug, bedug dong. “Lukman El-Maghriby,” namaku telah dipanggil dosen dalam ujian lisan kali ini.
Satu persatu pertanyaan yang dilontarkan dosen aku jawab panjang kali lebar sama dengan luas. Sebisaku, semampuku, seingatku, dan sepahamku tentang materi yang ia tanyakan. Keringat dingin mentes di pelipisku, juga di dadaku terasa sekali aliran tetes itu. Memang ada pertanyaan dosen yang aku menyerah tak mampu menjawab, tapi tak banyak.
Ketika bibi bertanya saat aku tiba di rumah, “Bagaimana ujiannya, Lukman?” Dengan sumringah aku menjawab, “Hamdulillah, mumtaz, Bi!” Itu terjadi hampir setiap aku pulang dari kampus.
Alhamdulillah ya Rabb, mimpi buruk itu tak terjadi. Singkat cerita ujianku rampung, tepat di hari terakhir ujian setelah ujian aku menyempatkan diri jalan-jalan. Wah, jalan-jalan terus yah. Memenuhi hasratku yang ingin berkunjung ke tepian sungai Nil- tak jauh dari rumah. Dalam perjalanan kubayangkan riaknya yang mangalir, syahdu. Membuat hati merasa damai. Baru dibayangkan.
Begitu sampai di sana… ada wanita yang sedang duduk selonjor memunggungi arah datangku. Jilbabnya lebar, hijau lembut dibordir motif bunga sekelilingnya. Apa? Motif itu? Bukankah, itu motif kreasiku ketika aku belajar mengoperasikan mesin bordir dulu? Dan jilbab itu, kain pertama yang sempurna berhasil aku bordir, lalu saat itu aku berikan pada… siapa lagi kalau bukan… Sirina.
Ah, tidak mungkin!!! Sirina kan sudah menikah. Mana mungkin dia nyasar sampai sini. Suaminya juga bukan mahasiswa Al-Azhar. Untuk apa dia kemari? Lagi pula, mungkin motif yang aku buat itu terlalu pasaran. Jadi, banyak sekali jilbab bermotif seperti itu.
Tapi bagaimana kalau benar dia Sirina? Dari posturnya memang mirip. Aku ingat betul, meski sudah bertahun-tahun lalu terakhir aku memandangnya. Tapi untuk apa dia di sini? Sedang bulan madu mungkin di Kairo. Atau suaminya sekarang pindah kampus. Bisa juga suaminya kerja di sini. Hal-hal aneh ini terus menghantui, membuatku penasaran siapa wanita ini sebetulnya.
Tapi biarkan sajalah. Malas aku menyapanya, kalau bukan Sirina aku malah jadi malu nanti. Kalau Sirina, aku terlanjur sebal padanya, malas juga bicara dengannya. Biarlah aku kehilangan tempat favoritku. Lagi pula sungai ini kan panjang. Terpanjang di dunia malah. Jadi aku masih bisa cari tempat lain.
Bersama dekak sepatuku, aku meninggalkan tempat itu. Tanpa sedikit pun melirik wanita itu. Tiba-tiba…
“Lukman, mau ke mana?” suara wanita. Jangan-jangan wanita yang duduk selonjor tadi, yang pakai jilbab hijau lembut tadi. Kok dia mengenalku? Mungkin salah orang. Biarkan sajalah, pura-pura tidak dengar.
“Lukman, Lukman, Lukman, Lukman El-Maghriby,” ya ampun, sampai empat kali menyebut namaku. Lengkap lagi. Tidak, bukan, pokoknya bukan Sirina. Langkahku semakin cepat, tegap, dan lebar.
“Tunggu Lukman. Kumohon, berhenti! Berhenti! Aku mohon,” seperti suara rintihan. Aku tak tahan jika harus mendengar rintihan wanita yang akan menangis. Hatiku juga beregejolak sebetulnya ketika wanita itu memanggilku. Mirip suara Sirina. Maka kuputuskan untuk sekedar menoleh.
Jeng-jeng, Ya Rabb. Aku menelan ludah. Untuk apa dia ke sini? Belum puaskah telah menyakiti hatiku. Menggalikan lubang besar yang menganga dipermukaannya. Belum cukupkah? Apa masih ingin memperlebarnya sampai hatiku habis tak tersisa dimakan oleh lubang galiannya?
Sungguh, kedatangannya membuatku badmood. Aku memilih pulang. Tapi Sirina tetap mengejarku. “Aku mohon, STOP! Jangan kejar aku!”
“Aku yakin kamu juga pasti sudah mengerti. Kamu istri orang. Jangan mengejarku lagi dong,” tegasku padanya.
“Lukman, siapa yang istri orang? Nih, lihat KTP-ku! Statusnya belum kawin.”
“Lalu apa maksud undangan itu, Sirina? Bukankah kau juga tahu bahwa aku mencintaimu. Tapi kenapa kau tega melakukan itu, mem-publish undangan sekenamu, di facebook pula?” tanyaku.
“Lukman, aku hanya bercanda,” kata Sirina enteng.
“Hah? bercanda katamu? Bercanda sampai segitunya? Kelewatan kamu, Sirina!”
“Lukman, kamu kan juga tahu bahwa aku sedang mengawali bisnisku. Wedding organizer. Aku hanya promosi undangan, Lukman. Dan yang kamu lihat itu salah satu samplenya,” jawabnya.
“ Lalu, bagaimana dengan e-mail itu? Kau bilang lelah menungguku…”
“Tapi aku tak bilang akan meninggalkanmu kan? Maka dari itu kali ini aku menyusulmu. Guna merayakan kesuksesanmu dalam ujian juga.”
“Iya. Tapi kenapa bibi dan paman tidak berkata seperti itu?”
“Yang benar? Padahal dalam telpon aku telah menjelaskan panjang lebar tentang salah paham ini,” Sirina kaget.
“Baiklah, ayo kita pulang!” ajakku.
Setibanya di rumah, paman dan bibi menyambut meriah kami yang berjalan depan belakang, tidak berjajar. “Wa’alaikumsalam, eh ponakan bibi sudah pulang. Sini ayo, langsung saja kita makan ya? Bibi sudah masak makanan kesukaan kamu lho, Lukman,” ajak bibi setelah menjawab salamku.
“Tunggu, Bi. Maaf Lukman lancing, kenapa bibi tidak menjelaskan pada Lukman tentang salah paham antara aku dan Sirina, Bi? Kenapa Bi?”
“Oh, soal itu. Bukankah dulu paman sudah menjelaskan padamu?” bibi bertanya balik.
“Paman? Menjelaskan? Kapan, Bi?”
“Dulu, sewaktu kita habis makan malam. Ya, malam saat kamu galau habis-habisan gara-gara undangan Sirina yang untuk promosi itu,” Jelas bibi.
“Maksud bibi?”
“Iya, paman kamu kan dulu sama sekali tidak menyinggung tentang pernikahan Sirina kan? Hayo? Dia hanya bilang kalau ini semua bukan masalah. Dan kamu diminta fokus untuk kuliah, yak an? Iya tidak?” bibi nerocos.
“Hehe, berarti Lukman yang nggak paham ya, Bi?”
Cekikikkan membahana di rumah itu mengiringi permintaan maafku pada Sirina yang selama ini telah aku anggap yang tidak-tidak.
#NB: Mohon maaf bila terdapat banyak keasalahan deskripsi. Karena saya pun belum pernah datang ke tempatnya.
oiya, mohon dikritik juga ya:) eh iya, hampir lupa ssya mau bilang. Tulisan ini banyak terinspirasi(baca:plagiat) dari note-note kakak-kakak masisir yang saya baca, hehe peace ya Kak:)Yang tidak terima silahkan lempar saya dengan uang:)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar