Sabtu, 11 Agustus 2012

Soal ke-40


“Ting-tong, ting-tong…” bel tanda pergantian jam pelajaran berdendang dengan ritme yang rapi beraturan. “Wah, habis ini pelajaran Seni Musik ya… Aduh, ulangan lagi,” coloteh Elfa tak jelas pada siapa. “Hmmm, iya. Kamu udah mempelajari materi yang dikasih sama Pak Fata belum, El?” Suta, teman sebangku Elfa menyambung coloteh Elfa. “Udah kok. Bismillah aja deh pokoknya,” singkat Elfa.
“Selamat siang. Assalamualaikum,” salam Pak Fata yang selalu on time tiba di kelas. “Siang, Pak. Wa’alaikumsalam,” sapa balik siswa-siswi hampir serempak. “Hari ini ulangan ya? Sudah belajar kan?” Pak Fata menyiapkan soal. “Jangan khawatir, soalnya mudah kok,” sambungnya. Siswa-siswi terdiam karena tak yakin soal itu benar-benar mudah. Sebab definisi mudah seorang guru bebeda dengan definisi mudah seorang siswa.
Dalam hitungan lima menit soal telah sampai di tangan para siswa. Sekilas  mereka mengerjakan dengan tekun. Pak Fata duduk di kursi guru mengawasi para siswa  dengan sabar. Untuk menghilangkan kejenuhan Pak Fata memainkan jemarinya di atas keyboard  laptopnya. Entah apa yang Pak Fata lakukan, tak ada siswa yang tahu. Yang jelas Pak Fata sedang sibuk dengan laptop dan jemarinya.
“Maaf, Pak. Apa soalnya memang betul berjumlah 39 butir?” seorang siswi yang duduk di bangku paling depan bertanya memecah keheningan situasi ulangan. “Kerjakan dulu yang ada ya, Nak. Nanti bapak beri penjelasan,” para siswa menjadi penasaran setelah mendengar jawaban dari Pak Fata.
“Suta, kok soalnya nggak sesuai sama materi yang dikasih Pak Fata ya. Kalau gini kan jadi susah ngerjainnya,” bisik Elfa lirih pada Suta. “Wah, aku nggak tahu El. Aku nggak belajar materi itu, tadi malem malah sibuk mainan komputer. Hehe…” jawab Suta tanpa merasa bersalah. “Yah, kamu…” Elfa kecewa.
“Elfa, boleh liat jawaban nomer 37 nggak?” tanya Suta. “Boleh, nih liat aja,” Elfa mengiyakan. “Eh, punya kamu nomer 25 apa?” sambung Elfa. “Nggak tahu. Tapi kalau menurutku sih D, menurut kamu?” Suta bertanya balik. “Emh, kayaknya iya deh. Kita jawab D yuk!” ajak Elfa yang diikuti anggukan kepala Suta.
45 menit berlalu. Jam pelajaran tersisa 25 menit. Pak Fata memberi perintah kepada para siswa untuk mengumpulkan soal ulangan dan lembar jawaban ke meja guru. Setelah semua siswa kembali duduk di tempat masing-masing, Pak Fata berdiri di hadapan para siswa dan siap memberi wejangan.
“Oke, tadi kan ada yang tanya tentang jumlah soal. Begini, soal pilihan ganda memang 39. Namun, bapak masih punya satu soal lagi untuk kalian supaya soalnya genap menjadi 40 butir,” Pak Fata membuat penasaran lagi. “Nak, mengakui perbuatan yang tercela itu sangat sulit. Tapi mungkin akan lebih mudah mengakui perbuatan yang terpuji. Oleh karena itu bapak ingin bertanya, siapa tadi yang mengerjakan soal dengan jujur dan murni tanpa melihat atau bertanya jawaban pada teman?” pertanyaan yang menikam tajam tepat di relung nurani masing-masing siswa.
Hening. Tak ada yang mengangkat tangan. “Tidak ada, Nak? Masak dari sekian banyak siswa di kelas ini tidak ada yang mengerjakan soal ulangan dengan murni. Apa setiap kali ulangan kalian seperti ini?” masih hening. “Kalian kenal Gayus? Pasti kenal dong, siapa sih yang nggak kenal Gayus. Kenapa dia terkenal? Karena korupsi. Dia kerja apa? Mengurusi pajak. Dulu sekolah di mana? Di STAN, dan perlu kalian tahu orang yang masuk STAN bukan orang sembarangan. Tapi orang yang benar-benar cerdas. Tapi karena Gayus tidak punya iman maka dia jadi cerdas menipu.”
“Hal ini bisa terjadi karena tidak ada penerapan kejujuran sejak awal. Ya dimulai dari hal kecil seperti ulangan harian ini. Oleh karena itu, saat ini pemerintah menerapkan sistem pendidikan karakter. Ini dilakukan supaya nantinya tidak akan muncul koruptor-koruptor yang lebih hebat lagi,” jelas Pak Fata. “Nah, sekarang saya yang bingung. Apa yang harus saya lakukan dengan nilai kalian itu? Karena bukan murni pekerjaan kalian mau dibagi-bagi juga susah. Saya kecewa, Nak! Lain kali kalau ulangan dikerjakan sendiri ya.” Pak Fata mengakhiri wejangannya.
Bel istirahat berbunyi mengiri dekak sepatu langkah Pak Fata yang keluar dari kelas. Para siswa berhambur dan tersisa beberapa yang tinggal di kelas. “Anis, kamu tadi nggak murni ulangannya?” tanya Elfa. “Enggak. Aku ada yang tanya Una tadi. Lha kamu juga nggak murni El?” Anis memastikan. “Enggak. Aku diskusi sama Suta. Wah, keren ya Pak Fata. Wejangannya ngena banget. Aku nyesel tadi diskusi, pokoknya besok kalau ulangan aku bakal belajar semua materi dan buku yang ada supaya nggak kayak gini lagi. Kita belajar materi dari guru, eh ternyata yang keluar materi dari buku,” sesal Elfa.

Sumber: Konektor, 1 Juli 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar