“Ting-tong, ting-tong…” bel tanda
pergantian jam pelajaran berdendang dengan ritme yang rapi beraturan. “Wah,
habis ini pelajaran Seni Musik ya… Aduh, ulangan lagi,” coloteh Elfa tak jelas
pada siapa. “Hmmm, iya. Kamu udah mempelajari materi yang dikasih sama Pak Fata
belum, El?” Suta, teman sebangku Elfa menyambung coloteh Elfa. “Udah kok.
Bismillah aja deh pokoknya,” singkat Elfa.
“Selamat siang. Assalamualaikum,”
salam Pak Fata yang selalu on time
tiba di kelas. “Siang, Pak. Wa’alaikumsalam,” sapa balik siswa-siswi hampir
serempak. “Hari ini ulangan ya? Sudah belajar kan?” Pak Fata menyiapkan soal.
“Jangan khawatir, soalnya mudah kok,” sambungnya. Siswa-siswi terdiam karena
tak yakin soal itu benar-benar mudah. Sebab definisi mudah seorang guru bebeda
dengan definisi mudah seorang siswa.
Dalam hitungan lima menit soal
telah sampai di tangan para siswa. Sekilas
mereka mengerjakan dengan tekun. Pak Fata duduk di kursi guru mengawasi
para siswa dengan sabar. Untuk
menghilangkan kejenuhan Pak Fata memainkan jemarinya di atas keyboard laptopnya. Entah apa yang Pak Fata lakukan,
tak ada siswa yang tahu. Yang jelas Pak Fata sedang sibuk dengan laptop dan
jemarinya.
“Maaf, Pak. Apa soalnya memang
betul berjumlah 39 butir?” seorang siswi yang duduk di bangku paling depan
bertanya memecah keheningan situasi ulangan. “Kerjakan dulu yang ada ya, Nak.
Nanti bapak beri penjelasan,” para siswa menjadi penasaran setelah mendengar
jawaban dari Pak Fata.
“Suta, kok soalnya nggak sesuai
sama materi yang dikasih Pak Fata ya. Kalau gini kan jadi susah ngerjainnya,”
bisik Elfa lirih pada Suta. “Wah, aku nggak tahu El. Aku nggak belajar materi
itu, tadi malem malah sibuk mainan komputer. Hehe…” jawab Suta tanpa merasa
bersalah. “Yah, kamu…” Elfa kecewa.
“Elfa, boleh liat jawaban nomer 37
nggak?” tanya Suta. “Boleh, nih liat aja,” Elfa mengiyakan. “Eh, punya kamu
nomer 25 apa?” sambung Elfa. “Nggak tahu. Tapi kalau menurutku sih D, menurut
kamu?” Suta bertanya balik. “Emh, kayaknya iya deh. Kita jawab D yuk!” ajak
Elfa yang diikuti anggukan kepala Suta.
45 menit berlalu. Jam pelajaran
tersisa 25 menit. Pak Fata memberi perintah kepada para siswa untuk
mengumpulkan soal ulangan dan lembar jawaban ke meja guru. Setelah semua siswa
kembali duduk di tempat masing-masing, Pak Fata berdiri di hadapan para siswa
dan siap memberi wejangan.
“Oke, tadi kan ada yang tanya
tentang jumlah soal. Begini, soal pilihan ganda memang 39. Namun, bapak masih
punya satu soal lagi untuk kalian supaya soalnya genap menjadi 40 butir,” Pak
Fata membuat penasaran lagi. “Nak, mengakui perbuatan yang tercela itu sangat
sulit. Tapi mungkin akan lebih mudah mengakui perbuatan yang terpuji. Oleh
karena itu bapak ingin bertanya, siapa tadi yang mengerjakan soal dengan jujur
dan murni tanpa melihat atau bertanya jawaban pada teman?” pertanyaan yang
menikam tajam tepat di relung nurani masing-masing siswa.
Hening. Tak ada yang mengangkat
tangan. “Tidak ada, Nak? Masak dari sekian banyak siswa di kelas ini tidak ada
yang mengerjakan soal ulangan dengan murni. Apa setiap kali ulangan kalian
seperti ini?” masih hening. “Kalian kenal Gayus? Pasti kenal dong, siapa sih
yang nggak kenal Gayus. Kenapa dia terkenal? Karena korupsi. Dia kerja apa? Mengurusi
pajak. Dulu sekolah di mana? Di STAN, dan perlu kalian tahu orang yang masuk
STAN bukan orang sembarangan. Tapi orang yang benar-benar cerdas. Tapi karena
Gayus tidak punya iman maka dia jadi cerdas menipu.”
“Hal ini bisa terjadi karena tidak
ada penerapan kejujuran sejak awal. Ya dimulai dari hal kecil seperti ulangan
harian ini. Oleh karena itu, saat ini pemerintah menerapkan sistem pendidikan
karakter. Ini dilakukan supaya nantinya tidak akan muncul koruptor-koruptor
yang lebih hebat lagi,” jelas Pak Fata. “Nah, sekarang saya yang bingung. Apa
yang harus saya lakukan dengan nilai kalian itu? Karena bukan murni pekerjaan
kalian mau dibagi-bagi juga susah. Saya kecewa, Nak! Lain kali kalau ulangan
dikerjakan sendiri ya.” Pak Fata mengakhiri wejangannya.
Bel istirahat berbunyi mengiri
dekak sepatu langkah Pak Fata yang keluar dari kelas. Para siswa berhambur dan
tersisa beberapa yang tinggal di kelas. “Anis, kamu tadi nggak murni
ulangannya?” tanya Elfa. “Enggak. Aku ada yang tanya Una tadi. Lha kamu juga
nggak murni El?” Anis memastikan. “Enggak. Aku diskusi sama Suta. Wah, keren ya
Pak Fata. Wejangannya ngena banget. Aku nyesel tadi diskusi, pokoknya besok
kalau ulangan aku bakal belajar semua materi dan buku yang ada supaya nggak
kayak gini lagi. Kita belajar materi dari guru, eh ternyata yang keluar materi
dari buku,” sesal Elfa.
Sumber: Konektor, 1 Juli 2012
Sumber: Konektor, 1 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar