Senin, 16 Januari 2012

Cerpen 4# Keping yang Pergi

Sang surya kian beranjak dari ufuk timur tempat terbitnya. Jam di dinding kelas 9 A menunjukkan pukul 07.00 WIB. Tak lama kemudian bel tanda masuk berdering-dering dengan nada yang tak asing di telinga, seperti bel tanda keberangkatan kereta, “Ding, ding, ding, ding.” Ya kurang lebih begitulah.

Gina dan kawan-kawan akhwat anak kelas 9 A mulai bersiap-siap untuk berganti pakaian olah raga sebab pelajaran jam pertama adalah olah raga. Selepas dari WC, mereka kembali ke kelas untuk menaruh seragam OSIS lalu keluar lagi untuk menuju lapangan.

“Wow,” dalam hati Gina terpesona oleh pemandangan yang baru saja ia lihat begitu keluar kelas. Matanya berbinar menatap tak berkedip, penuh sirat akan rasa kagum yang bergejolak dalam dada. Ah, indahnya jatuh hati.

Sesosok pria bertubuh kurus, tidak atletis, tidak terlalu tinggi namun masih lebih tinggi pria itu daripada Gina. Segala yang dilihat terpantul dari kaca mata minus yang bertengger di hidung mancung pria itu. Mungkin dia tak sesempurna sebagaimana pria idaman wanita. Namun dia punya karisma di mata Gina.

Berkelabat. Semua itu hanya sekejap. Pria itu hanya lewat, tujuannya adalah ruang mahasiswa yang sedang PPL (Praktik Pengalaman Lapangan) di sebelah barat kelas Gina. Cukup membuat jantung berdebar, namun hanya sebentar. Gina masih harus melanjutkan pelajarannya.

Entahlah, Gina selalu mudah jatuh hati pada pria. Terutama pria yang lebih dewasa. Seperti kakak PPL saat ini contohnya. Dulu ia juga sempat jatuh hati pada guru Fisikanya. Pertama memang Gina disayang olehnya sebab Gina adalah anak yang cukup cerdas di kelas. Namun seiring berjalannya waktu, guru itu pun tahu dan berubah menjadi tidak senang pada Gina. Sebetulnya Gina hanya nge-fans saja pada guru itu. Tapi teman-teman Gina terlalu berlebihan meresponnya, suka bilang-bilang gitu deh. Akhirnya guru itu jadi tidak suka dan malah jutek pada Gina.

Tapi ya sudahlah itu masa lalu, Gina juga sudah melupakannya. Biarkan hatinya membuka pintu untuk orang lain. Mungkin kakak PPL ini salah satunya. Gina bertemu untuk yang ke-dua kalinya di perpustakaan. Perpus memang baru saja mendapat banyak hibah buku dari dinas. Maka sangat dibutuhkan tenaga untuk meng-entri buku-buku itu. Jadilah anak PPL sebagai suka relawan. Hihihi.

“Ehm, jadi relawan perpus ya, Kak,” sapa Gina. Beruntungnya Gina memang suka membaca novel dan sering ke perpustakaan. “Iya nih, mau bantu po?” tanyanya. “Nggak deh, Kak. Makasih.” Singkat Gina.
“Kamu kelas berapa e?” ihir dia tanya lagi. Suaranya pelan dan lembut sekali, sampai-sampai Gina nyaris tidak dengar. “Kelas 9, Kak,” jawab Gina malu-malu. “Wah sudah kelas 9 ya. Mmm, harus banyak belajar kamu, jangan main-main ya,” ci elah, kakak itu malah menasihati Gina. Betapa berbunganya hati yang dinasihati. “Insya Allah,” Gina sok alim.

Perjumpaan itu memang cukup singkat. Hanya beberapa menit diwaktu istirahat. Namun begitu berartinya bagi Gina. Hatinya serasa melayang di angkasa, hanya karena ditanya dan bisa berbicara pada kakak itu. Remaja, aduhai memang dunia yang begitu gemerlap indah penuh bunga-bunga. Sayangnya, Gina lupa bertanya siapa nama kakak itu. Lupa, sungguh sifat yang manusiawi. “Semoga Allah memberiku kesempatan untuk bertemu dengan kakak itu lagi,” Gina berharap.

Bulan Agustus memang bulan di mana PPL baru dimulai. Dan pada bulan Agustus juga bertabrakan dengan bulan puasa. Setiap bulan puasa sekolah selalu mengadakan buka bersama selama tiga hari. Hari pertama untuk anak kelas 9, ke-dua untuk anak kelas 8, dan ke-tiga untuk anak kelas 7.

Gina adalah pengurus OSIS, ia menjabat sebagai koordinator keagamaan. Jadi Gina bukan hanya berangkat pada hari pertama saja, namun ke-dua juga ke-tiga. Asyiknya, kakak-kakak PPL Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta yang berjumlah 18 orang itu juga dimintai bantuan untuk mengabsen para siswa selama tiga hari itu juga. Betapa dengan senang hati Gina melakukan tugasnya, jelaslah karena dia bisa bertemu dengan kakak yang ia kagumi selama tiga hari. Bayangkan! Tiga hari!

Tugas Gina dan kawan-kawan pengurus OSIS lainnya adalah membagikan makanan di tiap kelas saat para siswa sedang mengikuti pengajian menjelang buka puasa di aula. Setelah semua siswa masuk kelas untuk makan, maka Gina bertugas mengecek apakah ada yang kurang atau tersisa. Nah saat itulah, kebetulan sekali mushola menghadap koridor yang dipakai Gina berjalan wara-wiri dan di situ kakak yang Gina kagumi sedang duduk. Gina hanya mampu menganggukkan kepala dan tersenyum manis penuh sipu. Pipinya merah jambu.

Itulah kejadian yang Gina alami saat buka puasa hari pertama. Indah bukan buatan bagi Gina.
Hari ke-dua. Gina memang sedang tidak sholat alias haid, jadi dia tidak puasa. Dikarenakan tugas, maka Gina tetap berangkat untuk buka bersama. Tiba waktunya sholat tarawih. Semua bersiap sholat di aula setelah berwudhu. Termasuk kakak-kakak PPL. Tapi ada satu kakak PPL yang tidak sholat karena sedang haid juga. Jadi Gina memilih untuk duduk di ruang PPL bersama kakak yang haid itu.

Mbak Dewi namanya, dia jurusan pendidikan Bahasa Indonesia. Kalau Gina ngomong dengan dia sudah pasti nyambungnya. Novel, ya apa lagi selain itu yang mereka obrolkan? Baru sekitar lima menit mereka ngobrol, tiba-tiba, “Jeglek!” pintu terbuka.

Rupanya para kakak PPL yang tidak berhalangan urung melaksanakan ibadah sholat tarawih, termasuk kakak yang dikagumi Gina. Mereka berada dalam satu ruangan yang boleh dibilang cukup sempit, ukurannya sekitar 3×6 m. Tidak semua kakak PPL sih. Ada beberapa yang masih teguh imannya. Lho? Berarti kakak yang dikagumi Gina nggak teguh dong imannya? Ya, nggak tahu juga. Alasan mereka sihtidak mendapat tempat katanya, aula penuh jadi mereka memilih ngumpet di ruang PPL.

Deg, deg, deg. Hati Gina bernyanyi dengan gugupnya di atas panggung sandiwara cintanya. Kakak itu duduk di sebelah Gina, tepat banget sebelahnya, deket banget. Tangannya merangkul kursi Gina lagi. Tapi Gina berpura-pura tidak tahu dan tidak peduli. Ah, ya Tuhan. Godaan-godaan, hush syah pergi sana. Biar begitu namun Gina senang.

Setelah bertanya tentang Gina itu siapa-maksudnya bertanya nama pada Gina, kelas berapa apa, alamatnya di mana, wah kayak udah mau macarin aja ni orang. Sayang, dia tak bertanya ukuran baju ataupun sepatu. “Oh, kamu yang di perpus nyapa aku itu ya? Wah pantes kok kayaknya pernah lihat,” memori kakak itu tiba-tiba terbuka. Gina hanya tersenyum.

“Mmmh, bapak kamu… bapak kamu…” katanya tiba-tiba merangkai sebuah rayuan gombal. Gina pun sudah menyadari adanya sinyal rayuan itu. “Wah-wah, kayaknya aku tahu nih, Kak. Cukup ya, cukup. Jangan dilanjutkan, OK!” Gina mencegah namun kakak itu tetap melanjutkan rayuannya. “Bapak kamu penjual jaket ya?” tanyanya. Gina tahu ini bukan rayuan gombal seperti seorang cowok berbicara pada pacarnya. Tapi ini hanya “bercanda”. Maka Gina melayaninya, “Kok tahu sih?” “Karena kamu telah menghangatkan hatiku,” menjwablah kakak itu dengan nada sok romantis. Seluruh isi ruangan cekikikkan dengan ditahan, karena kalau dilepaskan bisa-bisa ketahuan guru jaga dan dimarahi nanti karena mengganggu kelancaran ibadah tarawih.

Sungguh malam yang berkesan bagi Gina. Gina berusaha santai dan menyembunyikan gemuruh dalam dadanya. Bercanda yang menyenangkan bagi Gina, olehnya Gina dibawa tidak tidur semalaman. Maksudnya sampai di rumah Gina tidak bisa tidur gara-gara memikirkan bercanda yang menyenangkan yang barusan ia alami, bukan ia semalaman tidak tidur karena bercanda dengan kakak yang ia kagumi.

Sayang sekali, malam yang paling menyenangkan memang berada dimalam ke-dua. Malam ke-tiga, kakak-kakak banyak yang bolos termasuk kakak yang dikagumi Gina.

Bulan Ramadhan, bulan yang suci, bulan yang mulia kini hampir usai dimakan roda masa yang terus berputar tanpa ada yang mampu menghentikan kecuali Dia. Kalau pun bisa dihentikan, Gina hanya ingin berada dimalam ke-dua buka bersama itu. Biarlah malam yang tak terulang itu menjadi kenangan indah di hatinya.

Lebaran pun tiba. Di tengah liburannya yang sepi, Gina hanya melamun tak tentu arah. Dalam lamunannya Gina baru tersadar bahwa kakak yang ia kagumi adalah mahasiswa jurusan pendidikan Bahasa Inggris, dan yang membimbing dia dalam menjalankan PPL ini adalah guru Bahasa Inggris Gina sendiri. Tanpa ragu Gina mengirim sebuah pesan singkat pada gurunya yang kurang lebih begini bunyinya, “Maaf, Bu. Saya ingin bertanya. Kakak PPL jurusan Bahasa Inggris yang mengajar kelas 8 G, yang berkaca mata itu namanya siapa ya, Bu?”

Dalam hitungan jam, masuk sebuah pesan singkat di hanphone Gina, “Muh. Sodiq.” Singkat sekali. Ooo, jadi namanya Muh. Sodiq.

Hari berganti hari, liburan usai saatnya masuk sekolah lagi. Waktu PPL masih tesisa dua bulan. Namun dalam dua bulan itu tak ada hal yang istimewa terjadi. Sebelum kakak PPL pergi Gina ingin sekali mengucapkan sampai jumpa. Maka diawal bulan Oktober itu ia memberanikan diri bertanya dan masuk ruang PPL untuk kesekian kalinya, “Kak, PPL-nya kapan selesai?” Kak Sodiq langsung menjawab, “Mungkin sekitar tanggal 15 Oktober, kenapa? Ada apa? OSIS mau ngadain acara lagi?” “Ah, enggak. Besok kalau mau pulang aku dikasih tahu ya?” pinta Gina. “Insya Allah,” Kak Sodiq mengusahakan.

Tapi sayang seribu kali sayang. Ketika itu, tanggal 8 Oktober 2011 saat tiba waktunya pelajaran Bahasa Inggris di kelas Gina namun gurunya tak kunjung datang juga. Akhirnya Gina memutuskan untuk mencari gurunya di kantor guru tapi tidak ada. Ada yang bilang sedang di aula. “Ada acara apa di aula? Jangan-jangan…” pekik Gina dalam hati dan langsung berlari ke aula.

Benar apa yang ia kira. “Kak Sodiq bohong!” Gina mnjerit dalam hati. Ia langsung berlari ke kelas. Di aula memang terlihat kakak-kakak PPL sedang berjabat tangan pamitan dengan para guru pembimbing termasuk guru Bahasa Ingris Gina.
Ternyata jadwal selesai PPL diajukan satu minggu dari yang dikatakan kak Sodiq. Bukan. Bukan karena itu Gina kecewa. Tak masalah kapan PPL usai. Tapi Gina kecewa karena Gina tak diberi tahu oleh Kak Sodiq. Kak Sodiq tak meralat jawabannya waktu itu. Gina merasa dibohongi. Kebohongan yang hampa.

Bagi Gina, Kak Sodiq adalah sosok kakak yang hangat, perhatian, dan ramah. Hanya dia kakak PPL yang suka bertanya pada anak kelas 9. Lainnya pendiam. Meskipun hal yang ia tanyakan sangatlah tidak penting seperti, “Kok belum pulang? Pulang sana, nanti dicari ibu lho.” Tapi yang terpenting adalah nilai perhatiannya. Sungguh menjadi kakak idaman bagi seorang Gina yang anak sulung.

Sepulang sekolah Gina mengecek di parkiran. Tidak ada. Motor mereka telah lenyap, parkiran lengang. Seperti ada yang kurang dan hampa. Sehampa hati Gina yang baru saja kehilangan sekeping dari bagiannya. Entah, Gina tak tahu di mana kini keping itu berada. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar